Notification

×

Iklan ok

Kaleidoskop Pendidikan 2020 dan Persiapan Pembelajaran 2021

Rabu, 30 Desember 2020 | 16.58 WIB Last Updated 2021-05-19T09:16:39Z

Kaleidoskop Pendidikan 2020 dan Persiapan Pembelajaran 2021

Dok.foto penulis Azwar Anas


Adanya pandemi covid-19 yang muncul sejak awal tahun lalu telah melumpuhkan roda pendidikan normal. Akibatnya sekolah harus ditutup dalam tempo yang cukup lama dan pendidikan harus dilaksanakan dari rumah masing-masing dalam skema Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kemendikbud (2020) menyatakan bahwa, setidaknya terdapat 28,6 juta siswa SD, 13,1 juta siswa SMP, dan 11,3 juta siswa SMA yang terdampak pandemi covid-19, sehingga mengharuskan mereka melakukan pembelajaran dari rumah (Asep, dkk). Hal ini merupakan sebuah ironi mengingat kondisi pendidikan kita saat ini masih sangatlah terbatas untuk melaksanakan pembelajaran tanpa tatap muka.

Kondisi Pendidikan Kita
Terjadinya penutupan sekolah dan diiringi dengan pelaksanaan PJJ membuat banyak pihak kalang kabut. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan yang dialami guru dan siswa dalam menunaikan PJJ dengan cara maksimal. Memang secara tidak langsung, upaya pengarahan dan penggunaan teknologi digital dalam pendidikan sudah dimulai secara perlahan sejak sebelum adanya pandemi, namun praktisi pendidikan kita tidak membayangkan sebelumnya bahwa hal ini akan berlaku dalam waktu secepat ini, serta dengan kondisi yang serba mendadak. Dilain sisi, tidak semua guru memiliki kemampuan literasi digital yang memadai, disamping perangkat pelaksanaan PJJ seperti gawai pintar dan kuota internet yang juga masih terbatas. Sehingga hal ini berimbas pada kurang maksimalnya hasil pelaksanaan PJJ dalam beberapa bulan terakhir.

Pelaksanaan PJJ dalam konteks pendidikan Indonesia yang masih sangat terbatas nyatanya memberikan kemudharatan yang cukup besar. Permasalahan yang paling tampak adalah munculnya inklusifitas dalam pendidikan kita. Pandemi yang memaksa setiap siswa untuk berhenti dari aktivitas belajar normal dan harus beralih ke PJJ, nyatanya tak sedikit menyisakan kesenjangan dalam dunia pendidikan. Kesenjangan tersebut terjadi pada guru dan siswa dalam pembelajaran. Selain tidak dapat menunaikan tugas pokonya sebagai pendidik, guru yang tidak memiliki kemampuan dalam mengawal PJJ dapat menyebabkan siswa menjadi tidak terpenuhi hak belajarnya dengan baik. 

Akibatnya terjadi perbedaan pada setiap siswa dalam hal pemenuhan kebutuhan belajar dan bermuara pada tidak meratanya pendidikan bagi setiap siswa. Inklusifitas juga terjadi pada siswa yang tidak memiliki media pendukung terlaksananya PJJ, seperti gawai pintar, komputer/laptop, akses internet, dan beragam kebutuhan lain. Tak pelak hal ini semakin memperparah kesenjangan antar siswa dan seakan pendidikan hanya milik segelintir orang yang berkemampuan dalam menyediakan fasilitas belajar secara mandiri. Akibatnya tak sedikit kemudian memunculkan keputusasaan diantara para siswa hingga berujung pada putusnya aktivitas pembelajaran mereka, sebagaimana yang disampaikan oleh UNICEF bahwa terdapat 938 anak Indonesia mengalami putus sekolah selama pandemi berlangsung (Media Indonesia, 24/12/20).

Rencana Pendidikan pada 2021
Baru-baru ini angin segar datang dari Kemendikbud pada akhir November lalu. Kemendikbud secara resmi mengumumkan rencana pelaksanaan kembali pembelajaran tatap muka pada awal tahun depan. Munculnya kesenjangan kualitas pendidikan siswa yang semakin melebar disinyalir menjadi alasan utama hingga pemerintah kemudian “angkat tangan” dan memilih untuk kembali membuka sekolah dibawah asuhan dan pengawasan pemerindah daerah.

Adanya keputusan tersebut menjadi sinyal kuat akan pelaksanaan kembali pembelajaran tatap muka pada 2021 mendatang. Namun hal ini tentunya tidak serta merta dengan mudahnya sekolah langsung dibuka dalam skema normal. Perlu adanya persiapan dan analisis kesiapan yang cukup demi menjaga keamanan warga sekolah. Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu disiapkan sebelum sekolah kembali dibuka, diantaranya, pertama, pemerintah perlu melakukan analisis kesiapan daerah masing-masing dalam rangka menyongsong efektivitas pembelajaran tatap muka, seperti memperhatikan tingkat risiko penyebaran covid-19, kesiapan fasilitas palayanan kesehatan, ketersediaan akses transportasi yang aman bagi guru dan siswa, mobilitas warga dalam dan antar daerah, serta letak geografis daerah yang memungkinkan adanya pengaruh terhadap peningkatan covid-19.

Kedua, sekolah perlu menyiapkan diri sebaik mungkin untuk kembali menyambut kedatangan siswa. Selain harus mengantongi izin dari komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali siswa, sekolah juga perlu mengupayakan ketersediaan fasilitas kesehatan/UKS serta sarana sanitasi dan kebersihan yang memadai, seperti tempat cuci tangan, toilet, dan disinfektan. Disamping sekolah juga perlu melakukan pemetaan warga sekolah yang memiliki comorbid tak terkontrol serta riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko covid-19 yang tinggi, dan berbagai catatan lain yang kiranya membuat warga sekolah perlu melakukan isolasi.

Ketiga, guru dan siswa sebagai subjek utama pembelajaran perlu memiliki kesadaran tentang pentingnya penerapan protokol kesehatan di lingkungan sekolah. Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan guru dan siswa di sekolah perlu dinaungi dalam sebuah aturan agar penerapan protokol kesehatan dapat terealisasi dengan baik. Selain itu, pembelajaran juga perlu didesain sedemikian rupa sehingga mampu membuat siswa dan guru sadar akan peranan mereka dalam menanggulangi perkembangan covid-19 mulai dari lingkungan sekolah hingga ke tengah masyarakat.

Jika melirik data Kemendikbud tentang jumlah sekolah yang selama ini menjalankan pembelajaran di masa pandemi covid-19, didapati bahwa 13% dari total 151.696 (data per 18 November 2020) sekolah telah melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan rincian 75% sekolah pada zona hijau, 20% sekolah pada zona kuning, 12% sekolah pada zona oranye, dan 8% sekolah pada zona merah (Kemendikbud, peta zona risiko per 15 November 2020). Meski terbilang tidak banyak, namun hal ini cukup menjadi panduan bagi kita bahwa beberapa sekolah memilih nekat –bisa dikatakan demikian– untuk tetap melakukan pembelajaran tatap muka di tengah suasana pandemi yang setiap harinya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sehingga adanya wacana pembukaan sekolah tak lagi menjadi kendala berarti, namun tetap harus dicamkan, protokol kesehatan dan keselamatan warga sekolah harus menjadi yang utama.

Azwar Anas, Guru Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe. Praktisi pendidikan dan penulis buku “Veni Vidi Vici: Seni Guru dalam Menaklukkan Pandemi.
×
Berita Terbaru Update