Notification

×

Iklan ok

Mahasiswa: Wujudkan Agen Toleransi

Sabtu, 02 April 2022 | 11.09 WIB Last Updated 2022-04-02T04:09:48Z



Oleh: Fathayatul Husna

Opini - Universitas menjadi tempat pendidikan atau bisa disebut sebagai sekolah dengan level tertinggi setelah Sekolah Menengah Atas (SMA).

Di tingkat perguruan tinggi, setiap anak didik diberikan materi pembelajaran sesuai dengan jurusan atau minat yang diinginkan.

Selanjutnya, pengajar atau biasa dikenal dengan sebutan dosen, akan memberikan teori-teori sesuai dengan modul yang diajarkan.

Namun, tidak hanya itu, sebagai peserta didik di bangku perguruan tinggi dididik untuk tidak hanya menguasai bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga memahami kondisi sosial.

Oleh karena itu, peserta didik di bangku perguruan tinggi disebut dengan istilah mahasiswa. Artinya, mereka tetap sebagai siswa dengan kadar atau level tertinggi keilmuan.

Menjadi mahasiswa memang tidak luput dari pembelajaran tiada henti, tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Menjadi mahasiswa dididik dan ditempa dengan harapan dapat menjadi orang yang berguna untuk agama, bangsa dan negara.

Menjadi mahasiswa artinya siap untuk menggunakan seluruh akal pikiran dan jiwa raganya untuk memutuskan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk.

Dengan demikian, setelah lulus dari bangku perguruan tinggi seorang mahasiswa mampu menyebarkan nilai-nilai positif ke seluruh penjuru negeri, hingga luar negeri.

Indonesia menganut pedoman dasar Pancasila.

Di dalamnya terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi kehormatan pada setiap manusia.

Dalam sila-silanya, khususnya dalam sila ke dua disebutkan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Artinya, pancasila menaruh perhatian besar pada setiap manusia dan penduduk di Indonesia.

Konsep ini harus diamalkan dengan sempurna di berbagai lini. Salah satu cara terbaik adalah melalui pendidikan. Perguruan tinggi menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengajarkan dan mengamalkan pentingnya memanusiakan manusia dengan sangat bijak.

Hal ini dikarenakan di bangku perguruan tinggi setiap mahasiswa berasal dari daerah yang berbeda-beda.

Tidak hanya itu, latar belakang pendidikan sebelumnya, kondisi ekonomi dan agama yang dianut juga beragam. Dengan demikian, mahasiswa dapat menjadi sasaran tepat untuk memulai menanamkan konsep toleransi dan menghargai setiap perbedaan yang ada.

Mahasiswa di berbagai jenis perguruan tinggi di Indonesia berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Nilai-nilai kebudayaan yang dianut beragam, sama halnya dengan keyakinan agama yang dianut. Mahasiswa dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki daya pikir dan daya tanggap yang sangat kritis. Cara berfikirnya sudah mulai terbiasa dengan aktifitas-aktifitas organisasi.

Oleh karena itu, mahasiswa sangat dituntut sedari dini untuk membiasakan diri menyuarakan toleransi dalam segala situasi yang berbeda-beda.

Pentingnya menanamkan nilai-nilai toleransi pada mahasiswa karena mahasiswa dapat disebut sebagai agent of change.

Mahasiswa adalah agen dalam setiap perubahan. Agar tidak terjerumus pada perubahan-perubahan yang bersifat negatif, mahasiswa harus dibiasakan untuk merubah hal-hal yang berbau negatif menjadi sesuatu yang positif.

Mahasiswa yang terbiasa menjadi agen percontohan untuk menghargai setiap perbedaan yang ada. Artinya, mahasiswa tidak hanya sebagai fisik heroik, tetapi juga menjiwai dan menyadari bahwa lingkungan sekitarnya sangat beragam.

Hal ini akan menumbuhkan kesadaran dalam dirinya untuk menjadika orang lain sebagai wujud dirinya sendiri. Artinya, mahasiswa mulai menyadari bahwa memperlakukan orang lain harus sebaik memperlakukan dirinya sendiri. Ketika ia tidak menghargai kehadiran orang lain, sama halnya tengah memperlakukan dirinya sendiri secara tidak baik juga.

Dari penjelasan di atas dapat kita simak bersama-sama bahwa penting sekali membiasakan mahasiswa menciptakan ketentraman dalam lingkungan sosialnya.

Mahasiswa harus membiasakan diri berdiskusi dengan rekan-rekannya atau seniornya untuk dapat menangkap segala perbedaan yang ada.

Secara aktif, mahasiswa perlahan-lahan akan mulai peka dengan perbedaan yang ada di sekelilingnya. Ketika perbedaan ini dideteksi oleh mahasiswa, maka mahasiswa perlu pengarahan yang tepat untuk menghadapinya.

Dengan adanya bimbingan ini maka mahasiswa akan selalu hadir untuk menghindari perpecahan dengan cara menghadirkan kegiatan-kegiatan positif.

Bhinneka Tunngal Ika menjadi semboyan dasar yang harus dipahami oleh mahasiswa bahwa kalimat “walaupun berbeda-beda tetap satu jua” menjadi prinsip paling penting dalam jiwa seorang penduduk Indonesia.

Prinsip ini perlu dihayati dengan sedalam-dalamnya agar semakin mengerti bahwa Indonesia adalah negara majemuk yang di dalamnya penuh dengan keberagaman.

Dengan adanya prinsip dari semboyan ini mengajak mahasiswa dan seluruh penduduk Indonesia untuk merasa bangga dan sadar akan pentingnya menjaga serta merawat keberagaman Indonesia.

Dengan demikian, perpecahan dan pertikaiann seharusnya tidak akan terjadi di bumi pertiwi ketika pengamalan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila dilakukan dengan baik setiap harinya.

Dari seluruh penjelasan di atas, dapat kita garis bawahi bahwa mendidik mahasiswa untuk berpikir kritis dan berjiwa besar tidak mudah.

Perlu adanya pembiasaan dan penanaman nilai-nilai pada karakter setiap individu mahasiswa. Hal ini dikarenakan mahasiswa masih sangat membutuhkan bimbingan dan arahan agar mereka tetap berada di jalan yang positif dan diharapkan dapat mebawa perubahan-perubahan pada kebaikan.

Hal ini juga sejalan dengan upaya untuk meningkatkan nasionalisme kebangsaan pada dirinya. Mereka tidak hanya dibimbing untuk menghargai setiap perbedaan yang ada, tetapi juga untuk mengakui dan banga bahwa dirinya adalah seseorang yang sangat menyatu dengan Indonesia. Oleh karena itu, toleransi menjadi kunci dalam setiap perbedaan yang melatarbelakangi kita semua.


*Penulis adalah pegiat media sosial yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu keberagaman di Aceh. Oleh karena itu, penulis tertarik menulis tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA). Penulis dapat dihubungi melalui kontak fathayatulhusna@gmail.com.

×
Berita Terbaru Update