Firdaus M. Yunus
(Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
(Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
OPINI - Ketika perang meletus di satu belahan dunia, gelombangnya menghantam seluruh umat manusia. Kita tidak pernah benar-benar jauh dari perang; entah di Ukraina, Gaza, Sudan, atau Yaman—suara ledakan itu sampai ke ruang kesadaran kita, menggetarkan nalar dan nurani. Perang bukan hanya urusan senjata dan politik, melainkan soal eksistensi manusia itu sendiri. Dalam sejarah panjang peradaban, perang selalu menjadi titik balik, baik menuju kemajuan maupun kemunduran. Tetapi lebih dari itu, perang adalah cermin tentang siapa kita sebagai manusia dan siapa kita ingin menjadi.
Sejarah telah berkali-kali menunjukkan, dari reruntuhan Perang Dunia I dan II, manusia membangun dunia baru—PBB, Deklarasi Universal HAM, hingga konsep negara kesejahteraan. Namun, kita pun menyaksikan bahwa perang tak pernah benar-benar hilang; ia hanya berganti bentuk dan medan. Setelah Hiroshima dan Nagasaki, manusia berjanji "tidak akan terulang lagi." Nyatanya, dunia kembali bermain api, kali ini dengan senjata yang lebih mematikan dan informasi yang lebih menyesatkan.
Jika kita menoleh ke belakang, perang-perang besar telah mengubah struktur politik global, membentuk batas negara, menciptakan PBB, bahkan menata ulang nilai-nilai moral masyarakat dunia. Namun, perubahan ini seringkali muncul dari keputusasaan, dari kekalahan eksistensial. Di sinilah filsuf Prancis Jean-Paul Sartre menawarkan sudut pandang yang relevan: eksistensialisme bukan soal pasrah, tetapi soal tanggung jawab akan pilihan yang kita buat.
Sartre mengatakan bahwa manusia "dikondisikan untuk bebas"—kita terlempar ke dunia tanpa diminta, tapi bebas memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya. Dalam konteks perang, ini berarti bahwa setiap tindakan politik, setiap kebijakan militer, setiap narasi yang kita konsumsi atau sebarkan, adalah pilihan yang menciptakan realitas bersama. Kita tidak bisa bersembunyi di balik kata "nasib" atau "takdir geopolitik". Kita adalah agen sejarah.
Namun, dalam dunia yang dilanda ketakutan dan manipulasi informasi, kebebasan itu terasa seperti beban. Perang membuat kita gamang. Apakah memilih diam artinya setuju? Apakah bersuara berarti berpihak? Sartre tidak memberi jawaban sederhana, tetapi menegaskan bahwa diam pun adalah sebuah keputusan. Ketika kita memilih untuk tidak peduli terhadap penderitaan di Gaza atau tidak bersuara atas agresi di Ukraina, kita sedang mengambil sikap—dan kita harus bertanggung jawab atasnya.
Dampak perang tidak hanya pada korban jiwa, pengungsi, atau kerusakan fisik. Perang menggerus rasa percaya, menumbuhkan sinisme kolektif, menciptakan generasi yang trauma, dan memelihara dendam yang bisa meledak sewaktu-waktu. Jika tidak ada ruang untuk refleksi eksistensial, maka pascaperang bukanlah babak baru, melainkan kelanjutan luka yang belum sembuh.
Namun, masa depan bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ia diciptakan—dan di sinilah Sartre kembali menegaskan: eksistensi mendahului esensi. Artinya, manusia tidak dilahirkan dengan tujuan tertentu, tetapi menciptakan maknanya melalui tindakan. Dunia pascaperang, oleh karena itu, adalah cerminan dari pilihan-pilihan yang kita ambil hari ini. Apakah kita akan membiarkan ketakutan memandu kebijakan global? Ataukah kita akan memilih keberanian untuk membangun dialog, keadilan, dan solidaritas?
Dalam konteks global yang makin terhubung, kita semua adalah bagian dari percakapan tentang masa depan. Anak-anak yang tumbuh dalam bayang-bayang perang hari ini akan menulis sejarah esok hari. Apakah mereka akan belajar tentang kita sebagai generasi yang gagal bertanggung jawab atas kebebasannya? Ataukah mereka akan menyebut kita sebagai generasi yang, dalam keterpurukan, memilih untuk membangun kembali dunia yang lebih manusiawi?
Pertanyaan ini tidak hanya untuk para pemimpin dunia, tapi untuk kita semua. Sebab seperti kata Sartre, "Manusia adalah apa yang ia perbuat." Dan dalam dunia yang berkecamuk, tidak memilih pun adalah sebuah pilihan.