Notification

×

Samak Kumur-kumur yang Terlupakan

Selasa, 26 Agustus 2025 | 18.50 WIB Last Updated 2025-08-26T11:51:14Z


 

Oleh: Laksamana Muflih Iskandar . Mahasiswa Program Doktoral Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


    Tidak jarang seorang Muslim yang hidup di tengah masyarakat modern tanpa sengaja mengonsumsi makanan atau minuman yang dilarang oleh syariat. Kadang terjadi ketika bepergian ke luar negeri, menghadiri jamuan, atau sekadar kurang teliti membaca label makanan. Seseorang mungkin saja memakan hidangan yang ternyata mengandung daging babi (pork) atau meminum minuman yang mengandung alkohol. Yang jarang disadari, najis itu tidak hanya menempel di kulit, tetapi juga bisa ‘bersarang’ di dalam mulut dan syariat punya cara khusus untuk membersihkannya.

Dalam pandangan syariat Islam, daging babi adalah najis, sebagaimana firman Allah Swt QS. Al-Ma'idah ayat: 3. Begitu juga minuman beralkohol, yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai rijs (kotoran) dari perbuatan setan. Sebagaimana dalam QS. Al-Ma'idah ayat: 90. Dari sini jelas bahwa baik babi maupun khamar bukan sekadar “tidak sehat” atau “tidak cocok dengan selera” melainkan memiliki status hukum yang tegas: najis dan haram.

Dalam fikih, najis memiliki sifat berpindah apabila bersentuhan dalam keadaan basah. Artinya, jika daging babi mentah yang basah menyentuh tangan kita, maka tangan itu menjadi najis. Begitu pula jika kita memakan atau meminum zat najis, bagian mulut dan gigi yang terkena akan ikut ternajisi.

Di sinilah konsep samak atau sertu menjadi penting. Samak adalah cara bersuci dari najis berat mughallazhah, seperti najis yang berasal dari anjing dan babi, dengan membasuh bagian yang terkena sebanyak tujuh kali menggunakan air, salah satunya dicampur dengan tanah yang suci.

Di tengah masyarakat kita, samak umumnya hanya dipahami untuk membersihkan bagian luar tubuh. Misalnya, jika tangan atau pakaian terkena najis babi, maka bagian tersebut disamak sesuai ketentuan. Sayangnya, jarang sekali yang menerapkan prinsip ini pada bagian dalam mulut, padahal sama-sama terkena najis jika mengonsumsi bahan yang diharamkan.

Bahkan, sebagian Muslim mengira cukup dengan berkumur biasa untuk membersihkan najis ini. Padahal, berdasarkan keterangan ulama, untuk menghilangkan najis mughallazhah dari mulut, seseorang dianjurkan melakukan samak kumur dengan berkumur delapan kali, salah satunya dengan air bercampur tanah.

Samak kumur berarti membersihkan bagian mulut yang terkena najis mughallazhah dengan cara yang sama seperti membersihkan bagian luar tubuh. Dalam praktiknya, air bercampur tanah yang suci digunakan untuk berkumur hingga ke batas tenggorokan tempat keluarnya huruf “kha” dalam bahasa Arab atau hingga ke bagian belakang tenggorokan, tepat sebelum jalur makanan ke kerongkongan. Ini termasuk gigi, lidah, dan bagian dalam pipi.

Bagi sebagian orang, ide menggunakan tanah untuk berkumur mungkin terdengar aneh, bahkan menjijikkan. Namun, di sinilah letak ujian keimanan, ketika agama menetapkan sebuah cara bersuci, ia memiliki hikmah yang mungkin belum sepenuhnya kita mengerti. Tanah bukanlah kotoran sembarangan, melainkan bahan yang memiliki sifat menyucikan sebagaimana disebutkan dalam hadis tentang najis anjing dan babi.

Kita juga perlu membedakan antara sesuatu yang terlihat kotor tapi tidak najis seperti air liur atau lumpur di kaki, misalnya, meskipun terasa menjijikkan bagi sebagian orang, tidak termasuk najis sehingga tidak membatalkan shalat jika terkena pakaian. Sebaliknya, bersih secara visual tapi najis seperti minuman beralkohol meskipun disajikan dengan kemewahannya tetaplah najis, sehingga jika menetes ke pakaian akan menghalangi keabsahan shalat. Perbedaan ini penting untuk dipahami, agar kita terbiasa dengan standar “kebersihan” ketentuan agama.

Ada beberapa kemungkinan mengapa samak kumur jarang dipraktikkan. Pertama, karena minimnya sosialisasi dari lembaga keagamaan. Kedua, sebagian ulama menilai kasus konsumsi najis seperti babi jarang terjadi di masyarakat Muslim sehingga pembahasannya tidak menjadi prioritas. Ketiga, rasa “tidak nyaman” menggunakan tanah untuk berkumur membuat sebagian orang mengabaikannya.

Namun, di era globalisasi di mana peredaran makanan dan minuman lintas negara begitu mudah, potensi terpapar bahan najis semakin tinggi. Label makanan kadang sulit dibaca, istilah asing bisa mengecoh, dan campuran bahan dalam makanan olahan seringkali rumit dilacak. Maka, pengetahuan tentang samak kumur ini kembali relevan untuk disebarkan.

Membersihkan diri dari najis bukan sekadar perkara kebersihan fisik, melainkan juga penjagaan iman. Sebagaimana wudhu menjadi syarat sah shalat, membersihkan najis mughallazhah dari mulut setelah mengonsumsinya baik sengaja maupun tidak merupakan bentuk kepatuhan yang menjaga ibadah tetap sah di hadapan Allah.

Memang, melibatkan tanah dalam proses berkumur bisa terasa berat dan “tidak modern”, bahkan canggung. Tetapi seperti halnya banyak perintah agama, ada nilai kepasrahan di baliknya. Bahwa kita berusaha semampu kita untuk tunduk meski secara logika belum sepenuhnya dapat kita mengerti.

Samak kumur-kumur adalah sunnah yang terlupakan, padahal ia memiliki landasan kuat dalam fikih untuk membersihkan najis mughallazhah di bagian mulut. Dalam realitas kehidupan yang semakin kompleks dan bercampur-baur, pengetahuan ini bukan hanya bernilai fikih, tetapi juga menjadi benteng keimanan. Jika suatu saat kita tak sengaja mengonsumsi najis mughallazhah, jangan cukupkan dengan berkumur biasa, lakukan samak kumur, karena ia adalah bagian dari menjaga kesucian ibadah kita. Bukan semata karena logis atau tidaknya di mata manusia, tetapi karena ia adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Saw. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.

 


Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update