Oleh: Laksamana Muflih Iskandar . Mahasiswa Program Doktoral Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak
jarang seorang Muslim yang hidup di tengah masyarakat modern tanpa sengaja mengonsumsi
makanan atau minuman yang dilarang oleh syariat. Kadang terjadi ketika
bepergian ke luar negeri, menghadiri jamuan, atau sekadar kurang teliti membaca
label makanan. Seseorang mungkin saja memakan hidangan yang ternyata mengandung
daging babi (pork) atau meminum minuman yang mengandung alkohol. Yang
jarang disadari, najis itu tidak hanya menempel di kulit, tetapi juga bisa
‘bersarang’ di dalam mulut dan syariat punya cara khusus untuk membersihkannya.
Dalam pandangan syariat Islam, daging babi adalah najis,
sebagaimana firman Allah Swt QS. Al-Ma'idah ayat: 3. Begitu juga minuman
beralkohol, yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai rijs (kotoran) dari
perbuatan setan. Sebagaimana dalam QS. Al-Ma'idah ayat: 90. Dari sini jelas
bahwa baik babi maupun khamar bukan sekadar “tidak sehat” atau “tidak
cocok dengan selera” melainkan memiliki status hukum yang tegas: najis dan
haram.
Dalam fikih, najis memiliki sifat berpindah apabila bersentuhan
dalam keadaan basah. Artinya, jika daging babi mentah yang basah menyentuh
tangan kita, maka tangan itu menjadi najis. Begitu pula jika kita memakan atau
meminum zat najis, bagian mulut dan gigi yang terkena akan ikut ternajisi.
Di sinilah konsep samak atau sertu menjadi penting.
Samak adalah cara bersuci dari najis berat mughallazhah, seperti najis
yang berasal dari anjing dan babi, dengan membasuh bagian yang terkena sebanyak
tujuh kali menggunakan air, salah satunya dicampur dengan tanah yang suci.
Di tengah masyarakat kita, samak umumnya hanya dipahami untuk
membersihkan bagian luar tubuh. Misalnya, jika tangan atau pakaian terkena
najis babi, maka bagian tersebut disamak sesuai ketentuan. Sayangnya, jarang
sekali yang menerapkan prinsip ini pada bagian dalam mulut, padahal sama-sama
terkena najis jika mengonsumsi bahan yang diharamkan.
Bahkan, sebagian Muslim mengira cukup dengan berkumur biasa untuk
membersihkan najis ini. Padahal, berdasarkan keterangan ulama, untuk
menghilangkan najis mughallazhah dari mulut, seseorang dianjurkan
melakukan samak kumur dengan berkumur delapan kali, salah satunya dengan
air bercampur tanah.
Samak kumur berarti membersihkan bagian mulut yang terkena najis mughallazhah
dengan cara yang sama seperti membersihkan bagian luar tubuh. Dalam praktiknya,
air bercampur tanah yang suci digunakan untuk berkumur hingga ke batas
tenggorokan tempat keluarnya huruf “kha” dalam bahasa Arab atau hingga ke
bagian belakang tenggorokan, tepat sebelum jalur makanan ke kerongkongan. Ini
termasuk gigi, lidah, dan bagian dalam pipi.
Bagi sebagian orang, ide menggunakan tanah untuk berkumur mungkin
terdengar aneh, bahkan menjijikkan. Namun, di sinilah letak ujian keimanan,
ketika agama menetapkan sebuah cara bersuci, ia memiliki hikmah yang mungkin
belum sepenuhnya kita mengerti. Tanah bukanlah kotoran sembarangan, melainkan
bahan yang memiliki sifat menyucikan sebagaimana disebutkan dalam hadis tentang
najis anjing dan babi.
Kita juga perlu membedakan antara sesuatu yang terlihat kotor tapi
tidak najis seperti air liur atau lumpur di kaki, misalnya, meskipun terasa
menjijikkan bagi sebagian orang, tidak termasuk najis sehingga tidak
membatalkan shalat jika terkena pakaian. Sebaliknya, bersih secara visual tapi
najis seperti minuman beralkohol meskipun disajikan dengan kemewahannya
tetaplah najis, sehingga jika menetes ke pakaian akan menghalangi keabsahan
shalat. Perbedaan ini penting untuk dipahami, agar kita terbiasa dengan standar
“kebersihan” ketentuan agama.
Ada beberapa kemungkinan mengapa samak kumur jarang dipraktikkan.
Pertama, karena minimnya sosialisasi dari lembaga keagamaan. Kedua, sebagian
ulama menilai kasus konsumsi najis seperti babi jarang terjadi di masyarakat
Muslim sehingga pembahasannya tidak menjadi prioritas. Ketiga, rasa “tidak
nyaman” menggunakan tanah untuk berkumur membuat sebagian orang mengabaikannya.
Namun, di era globalisasi di mana peredaran makanan dan minuman
lintas negara begitu mudah, potensi terpapar bahan najis semakin tinggi. Label
makanan kadang sulit dibaca, istilah asing bisa mengecoh, dan campuran bahan
dalam makanan olahan seringkali rumit dilacak. Maka, pengetahuan tentang samak
kumur ini kembali relevan untuk disebarkan.
Membersihkan diri dari najis bukan sekadar perkara kebersihan
fisik, melainkan juga penjagaan iman. Sebagaimana wudhu menjadi syarat sah
shalat, membersihkan najis mughallazhah dari mulut setelah
mengonsumsinya baik sengaja maupun tidak merupakan bentuk kepatuhan yang
menjaga ibadah tetap sah di hadapan Allah.
Memang, melibatkan tanah dalam proses berkumur bisa terasa berat dan
“tidak modern”, bahkan canggung. Tetapi seperti halnya banyak perintah agama,
ada nilai kepasrahan di baliknya. Bahwa kita berusaha semampu kita untuk tunduk
meski secara logika belum sepenuhnya dapat kita mengerti.
Samak kumur-kumur adalah sunnah yang terlupakan, padahal ia
memiliki landasan kuat dalam fikih untuk membersihkan najis mughallazhah
di bagian mulut. Dalam realitas kehidupan yang semakin kompleks dan
bercampur-baur, pengetahuan ini bukan hanya bernilai fikih, tetapi juga menjadi
benteng keimanan. Jika suatu saat kita tak sengaja mengonsumsi najis mughallazhah,
jangan cukupkan dengan berkumur biasa, lakukan samak kumur, karena ia adalah
bagian dari menjaga kesucian ibadah kita. Bukan semata karena logis atau
tidaknya di mata manusia, tetapi karena ia adalah bagian dari ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya Saw. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.