Notification

×

TKA, Memaknai Penilaian dan Pengalaman Pedagogis

Rabu, 20 Agustus 2025 | 20.59 WIB Last Updated 2025-08-20T13:59:55Z


Oleh Nazhori Author 

Tes Kemampuan Akademik atau dikenal dengan TKA, akan diberlakukan pada tahun 2025. Secara resmi TKA dilaksanakan pada 1-9 November 2025. Pelaksanaan TKA didasari pada Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2025.

 

Kehadiran TKA tidak muncul begitu saja, di dalamnya ada kajian akademik dengan pertimbangan yang matang bahwa negara berkewajiban menyediakan Pendidikan yang bermutu untuk semua warga negara tanpa memandang latar belakangnya.

 

Di samping itu, Kemendikdasmen menyiapkan perangkat aturan hingga pelaksananya dalam bentuk penilaian terstandar untuk mengetahui capaian akademik murid yang mengacu pada standar nasional Pendidikan. Peraturan menteri ini juga sebagai pengganti Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 31 Tahun 2023 tentang Uji Kesetaraan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum.

 

Hal ini bagian dari amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Karena itu, menurut Abdul Mu’ti, Kemendikdasmen menyatakan kesiapannya untuk bisa diselenggarakan. Merujuk peraturan tersebut, TKA merupakan kegiatan terencana dan terukur dalam melakukan pengukuran capaian akademik murid pada mata pelajaran tertentu.

 

Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa tujuan TKA untuk memperoleh informasi capaian akademik murid yang terstandar, nilai manfaatnya untuk keperluan seleksi akademik, menjamin pemenuhan akses murid pendidikan non-formal dan pendidikan informal terhadap penyetaraan hasil belajar.

 

Tujuan lainnya yaitu mendorong peningkatan kapasitas pendidik dalam mengembangkan penilaian yang berkualitas dan memberikan bahan acuan pada aspek pengendalian dan aspek penjaminan mutu pendidikan.

 

Mata pelajaran yang diujikan dalam TKA beragam, menyesuaikan dengan tingkatan peserta didik. Adapun khusus untuk jenjang SMA/SMK atau yang sederajat, mata pelajaran yang diujikan ada lima, tiga di antaranya yang wajib adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika.

 

Selanjutnya adalah bagaimana menilai dan memaknai tes kemampuan akademik tersebut yang secara resmi dituangkan dalam peraturan menteri pendidikan dasar dan menengah. Apa makna dibalik implementasi tes kemampuan akademik ini?        

 

 

Pengalaman dan Fenomenologi Pendidikan   

Evaluasi pendidikan merupakan instrumen penilaian pembelajaran yang terencana dan terukur. Pengalaman pedagogis dalam ruang kelas adalah cara bagaimana pembelajaran dipahami peserta didik dalam aspek batin terdalam yang melahirkan persepsi, kesadaran dan olah rasa. Karena itu, proses pembelajaran memerlukan alat ukur berupa evaluasi sejauh mana capaian yang ditargetkan terukur dan adil.

 

Dalam fenomenologi upaya mengungkap gambaran pengalaman yang dirasakan, utamanya memahami kehidupan sehari-hari guru dan peserta didik di sekolah dalam suatu interaksi pedagogis tidak semata-mata bergantung pada rencana pembelajaran dan penilaian. Dibalik itu ada makna terdalam dari suatu peristiwa pedagogis tentang nilai – nilai kehidupan yang humanis seperti kejujuran, keberanian, tanggung jawab dan menghargai keragaman dengan kepekaan sosial.

 

Jika empat tahun belakangan asesmen nasional digunakan sebagai alat evaluasi yang sarat catatan bagi peserta didik dan tak jarang menjadi beban psikologis mengingat keragaman kemampuan peserta didik yang berbeda – beda serta kualitas sekolah yang berbeda – beda pula maka setidaknya pengalaman ini merupakan informasi berharga bahwa dengan adanya TKA bisa membangun kepercayaan di tengah ketimpangan yang ada.

 

Dalam konteks ini, fenomenologi pendidikan memungkinkan untuk fokus pada ikhtiar mengungkap instrumen evaluasi pembelajaran sebagai fenomena yang muncul dalam kesadaran insan pedagogis. Langkah yang diambil Kemendikdasmen dalam kerangka ini menyadari betul bahwa ada sesuatu yang timpang dalam penilaian yang mengandalkan rapor dalam antarsatuan pendidikan.

 

Misalnya ketika peserta didik melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, antarsatuan pendidikan menyandarkan pada nilai rapor. Secara objektif kajian Kemendikdasmen menemukan bukti empirik kondisi ini disebabkan tidak adanya penilaian individu yang terstandarisasi secara nasional. Labih jauh lagi, di sekolah tertentu bisa jadi berbeda makna substansinya dengan nilai yang sepadan pada sekolah yang lain.

 

Menuju hal itu dibutuhkan seni memahami sebagaimana disarankan F Budi Hardiman (Seni Memahami, 2015) dalam menangkap makna literal penilaian dalam suatu evaluasi pembelajaran. Bisa jadi setiap orang mengetahui sistem penilaian evaluasi pembelajaran, namun mengalami kendala dalam memahami makna yang tersirat, diperlukan kepekaan untuk merasakan pengalaman yang dialami oleh orang lain.        

 

Pada satu persepsi tentang evaluasi pembelajaran ada suatu kesepakatan di dalamnya terdapat penilaian dan rangkaian proses pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya dengan target tertentu. Tujuannya untuk mengukur kualitas dan efektifitasnya serta umpan balik yang diperoleh sehingga ada suatu keputusan sebagai langkah monitoring, evaluasi dan belajar dari pengalaman (learning from experience). 

 

Kesadaran tentang sesuatu (penilaian), tidak pernah berdiri sendiri, di sana ada subjek yang belajar yaitu guru dan peserta didik, metode pembelajaran, kurikulum, dan sarana pendukung lainnya. Guru dan peserta didik adalah subjek proses pembelajaran yang mengalami langsung. Keduanya menghadapi suatu kondisi psikis dan psikologis dalam pencarian makna hidup dalam Pendidikan.

 

Kehadiran TKA seperti disampaikan Kemendikdasmen untuk menjawab tantangan tentang sistem penilaian yang sudah ada, bahkan melengkapi kebutuhan yang sesuai dengan standar nasional baik dari sisi instrumen tes dan prinsip dasarnya. Hal ini menegaskan ada gambaran tentang kemampuan akademik peserta didik yang tidak sekadar dipahami secara definitif, tapi secara makna yang dalam peran dan fungsinya tidak sebagai penentu kelulusan. Peran guru dan sekolah memberikan nilai pedagogis berupa kepercayaan kepada peserta didik bahwa nilai rapor yang dicapai tak lain dari hasil ujian yang diikuti.

 

Keberadaan TKA juga sebagai intrumen penilaian penguat selain penilaian hasil ujian di sekolah. TKA dalam pelaksanaannya nanti bersifat opsional yang diselenggarakan pemerintah sebagai wujud memberikan pelayanan berkualitas bagi guru, sekolah dan instansi lainnya.

 

Istilah dan konsep TKA, hemat penulis tidak berhenti pada aspek penilaian. TKA merupakan ikhtiar pedagogis menangkap makna terdalam proses pembelajaran yang tidak sebatas data kuantitatif melainkan dimensi terdalam guru, peserta didik dan sekolah dalam memaknai pengukuran capaian hasil belajar yang tidak tunggal.

 

Menepis Kerisauan

 

Pelaksanaan TKA hanya menunggu waktu. Sebagian Masyarakat ada yang masih dilanda kerisauan. Salah satu kerisauannya masih ada yang mengetahui TKA diartikan sebagai penentu kelulusan di samping hasil tes ujian di sekolah. Dalam kesempatan yang lain, TKA menampilkan ketimpangan sosial karena ada sekolah yang secara kualitas sudah siap sementara masih ada sekolah yang dari sumber daya dan sarana masih alami kekurangan.

 

Secara eksplisit Kememdikdasmen telah menyiapkan pelaksanaannya dengan prinsip kehati-hatian. Upaya ini dilakukan agar tidak ada praktik kecurigaan dari masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaan TKA dilakukan dengan prinsip kejujuran,

kerahasiaan dan akuntabilitas, di samping ada penyiapan system pendukung lainnya.

 

Pada aspek tata Kelola, TKA membutuhkan dukungan semua pihak sehingga proses koordinasi dan komunikasi antara pemangku kepentingan berjalan sesuai dengan alurnya. Dengan harapan TKA sebagai nilai lebih (value added) yang memberikan manfaat dan dampak baik kepada peserta didik dan entitas kelembagaan pendidikan.

 

Kembali kepada TKA dalam konteks fenomenologi pendidikan yang di dalamnya terdapat aspek pengalaman, menurut Edmund Husserl, kesadaran sejatinya dipahami sebagai kesadaran intensional, artinya kesadaran akan nilai penting dan manfaat TKA senantiasa dialamatkan kepada sesuatu.

 

Sesuatu bisa bermakna segala hal yang dialami oleh peserta didik bahkan oleh negara sebagai penyelenggara sistem pendidikan. Setiap pengalaman, termasuk pengalaman hidup dan pedagogis selalu menyimpan objek yang dialami. Cara manusia mengalami inilah membutuhkan kearifan sejauh mana evaluasi pembelajaran dapat diimplementasikan dengan humanis pada setiap kebijakan Pendidikan yang dalam periode tertentu dapat berubah konsep dan maknanya.

 

Penulis adalah Alumnus Program Magister Agama Islam Universitas Paramadina 

 


 

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update