Tes Kemampuan Akademik atau dikenal dengan
TKA, akan diberlakukan pada tahun 2025. Secara resmi TKA dilaksanakan pada 1-9
November 2025. Pelaksanaan TKA didasari pada Peraturan Menteri Pendidikan Dasar
dan Menengah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2025.
Kehadiran TKA tidak muncul begitu saja, di
dalamnya ada kajian akademik dengan pertimbangan yang matang bahwa negara
berkewajiban menyediakan Pendidikan yang bermutu untuk semua warga negara tanpa
memandang latar belakangnya.
Di samping itu, Kemendikdasmen menyiapkan
perangkat aturan hingga pelaksananya dalam bentuk penilaian terstandar untuk
mengetahui capaian akademik murid yang mengacu pada standar nasional
Pendidikan. Peraturan menteri ini juga sebagai pengganti Peraturan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 31 Tahun 2023 tentang Uji
Kesetaraan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum.
Hal ini bagian dari amanah Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Karena itu, menurut Abdul
Mu’ti, Kemendikdasmen menyatakan kesiapannya untuk bisa diselenggarakan.
Merujuk peraturan tersebut, TKA merupakan kegiatan terencana dan terukur dalam
melakukan pengukuran capaian akademik murid pada mata pelajaran tertentu.
Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa tujuan TKA untuk
memperoleh informasi capaian akademik murid yang terstandar, nilai manfaatnya untuk
keperluan seleksi akademik, menjamin pemenuhan akses murid pendidikan non-formal
dan pendidikan informal terhadap penyetaraan hasil belajar.
Tujuan lainnya yaitu mendorong peningkatan
kapasitas pendidik dalam mengembangkan penilaian yang berkualitas dan
memberikan bahan acuan pada aspek pengendalian dan aspek penjaminan mutu pendidikan.
Mata pelajaran yang diujikan dalam TKA
beragam, menyesuaikan dengan tingkatan peserta didik. Adapun khusus untuk
jenjang SMA/SMK atau yang sederajat, mata pelajaran yang diujikan ada lima,
tiga di antaranya yang wajib adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan
Matematika.
Selanjutnya adalah bagaimana menilai dan
memaknai tes kemampuan akademik tersebut yang secara resmi dituangkan dalam
peraturan menteri pendidikan dasar dan menengah. Apa makna dibalik implementasi
tes kemampuan akademik ini?
Pengalaman dan Fenomenologi
Pendidikan
Evaluasi pendidikan merupakan instrumen
penilaian pembelajaran yang terencana dan terukur. Pengalaman pedagogis dalam
ruang kelas adalah cara bagaimana pembelajaran dipahami peserta didik dalam
aspek batin terdalam yang melahirkan persepsi, kesadaran dan olah rasa. Karena
itu, proses pembelajaran memerlukan alat ukur berupa evaluasi sejauh mana
capaian yang ditargetkan terukur dan adil.
Dalam fenomenologi upaya mengungkap gambaran
pengalaman yang dirasakan, utamanya memahami kehidupan sehari-hari guru dan
peserta didik di sekolah dalam suatu interaksi pedagogis tidak semata-mata
bergantung pada rencana pembelajaran dan penilaian. Dibalik itu ada makna
terdalam dari suatu peristiwa pedagogis tentang nilai – nilai kehidupan yang
humanis seperti kejujuran, keberanian, tanggung jawab dan menghargai keragaman
dengan kepekaan sosial.
Jika empat tahun belakangan asesmen nasional
digunakan sebagai alat evaluasi yang sarat catatan bagi peserta didik dan tak
jarang menjadi beban psikologis mengingat keragaman kemampuan peserta didik
yang berbeda – beda serta kualitas sekolah yang berbeda – beda pula maka
setidaknya pengalaman ini merupakan informasi berharga bahwa dengan adanya TKA
bisa membangun kepercayaan di tengah ketimpangan yang ada.
Dalam konteks ini, fenomenologi pendidikan
memungkinkan untuk fokus pada ikhtiar mengungkap instrumen evaluasi
pembelajaran sebagai fenomena yang muncul dalam kesadaran insan pedagogis. Langkah
yang diambil Kemendikdasmen dalam kerangka ini menyadari betul bahwa ada
sesuatu yang timpang dalam penilaian yang mengandalkan rapor dalam antarsatuan pendidikan.
Misalnya ketika peserta didik melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, antarsatuan pendidikan menyandarkan pada
nilai rapor. Secara objektif kajian Kemendikdasmen menemukan bukti empirik kondisi
ini disebabkan tidak adanya penilaian individu yang terstandarisasi secara
nasional. Labih jauh lagi, di sekolah tertentu bisa jadi berbeda makna
substansinya dengan nilai yang sepadan pada sekolah yang lain.
Menuju hal itu dibutuhkan seni memahami
sebagaimana disarankan F Budi Hardiman (Seni Memahami, 2015) dalam
menangkap makna literal penilaian dalam suatu evaluasi pembelajaran. Bisa jadi
setiap orang mengetahui sistem penilaian evaluasi pembelajaran, namun mengalami
kendala dalam memahami makna yang tersirat, diperlukan kepekaan untuk merasakan
pengalaman yang dialami oleh orang lain.
Pada satu persepsi tentang evaluasi
pembelajaran ada suatu kesepakatan di dalamnya terdapat penilaian dan rangkaian
proses pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya dengan target tertentu. Tujuannya
untuk mengukur kualitas dan efektifitasnya serta umpan balik yang diperoleh
sehingga ada suatu keputusan sebagai langkah monitoring, evaluasi dan belajar
dari pengalaman (learning from experience).
Kesadaran tentang sesuatu (penilaian),
tidak pernah berdiri sendiri, di sana ada subjek yang belajar yaitu guru dan
peserta didik, metode pembelajaran, kurikulum, dan sarana pendukung lainnya. Guru
dan peserta didik adalah subjek proses pembelajaran yang mengalami langsung.
Keduanya menghadapi suatu kondisi psikis dan psikologis dalam pencarian makna
hidup dalam Pendidikan.
Kehadiran TKA seperti disampaikan
Kemendikdasmen untuk menjawab tantangan tentang sistem penilaian yang sudah
ada, bahkan melengkapi kebutuhan yang sesuai dengan standar nasional baik dari
sisi instrumen tes dan prinsip dasarnya. Hal ini menegaskan ada gambaran
tentang kemampuan akademik peserta didik yang tidak sekadar dipahami secara
definitif, tapi secara makna yang dalam peran dan fungsinya tidak sebagai
penentu kelulusan. Peran guru dan sekolah memberikan nilai pedagogis berupa
kepercayaan kepada peserta didik bahwa nilai rapor yang dicapai tak lain dari hasil
ujian yang diikuti.
Keberadaan TKA juga sebagai intrumen penilaian
penguat selain penilaian hasil ujian di sekolah. TKA dalam pelaksanaannya nanti
bersifat opsional yang diselenggarakan pemerintah sebagai wujud memberikan
pelayanan berkualitas bagi guru, sekolah dan instansi lainnya.
Istilah dan konsep TKA, hemat penulis tidak
berhenti pada aspek penilaian. TKA merupakan ikhtiar pedagogis menangkap makna
terdalam proses pembelajaran yang tidak sebatas data kuantitatif melainkan
dimensi terdalam guru, peserta didik dan sekolah dalam memaknai pengukuran
capaian hasil belajar yang tidak tunggal.
Menepis Kerisauan
Pelaksanaan TKA hanya menunggu waktu. Sebagian
Masyarakat ada yang masih dilanda kerisauan. Salah satu kerisauannya masih ada
yang mengetahui TKA diartikan sebagai penentu kelulusan di samping hasil tes
ujian di sekolah. Dalam kesempatan yang lain, TKA menampilkan ketimpangan
sosial karena ada sekolah yang secara kualitas sudah siap sementara masih ada
sekolah yang dari sumber daya dan sarana masih alami kekurangan.
Secara eksplisit Kememdikdasmen telah
menyiapkan pelaksanaannya dengan prinsip kehati-hatian. Upaya ini dilakukan
agar tidak ada praktik kecurigaan dari masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaan
TKA dilakukan dengan prinsip kejujuran,
kerahasiaan dan akuntabilitas, di samping ada
penyiapan system pendukung lainnya.
Pada aspek tata Kelola, TKA membutuhkan
dukungan semua pihak sehingga proses koordinasi dan komunikasi antara pemangku
kepentingan berjalan sesuai dengan alurnya. Dengan harapan TKA sebagai nilai
lebih (value added) yang memberikan manfaat dan dampak baik kepada
peserta didik dan entitas kelembagaan pendidikan.
Kembali kepada TKA dalam konteks fenomenologi
pendidikan yang di dalamnya terdapat aspek pengalaman, menurut Edmund Husserl,
kesadaran sejatinya dipahami sebagai kesadaran intensional, artinya kesadaran
akan nilai penting dan manfaat TKA senantiasa dialamatkan kepada sesuatu.
Sesuatu bisa bermakna segala hal yang dialami
oleh peserta didik bahkan oleh negara sebagai penyelenggara sistem pendidikan. Setiap
pengalaman, termasuk pengalaman hidup dan pedagogis selalu menyimpan objek yang
dialami. Cara manusia mengalami inilah membutuhkan kearifan sejauh mana
evaluasi pembelajaran dapat diimplementasikan dengan humanis pada setiap
kebijakan Pendidikan yang dalam periode tertentu dapat berubah konsep dan
maknanya.
Penulis adalah Alumnus Program Magister
Agama Islam Universitas Paramadina