Notification

×

Bahas Mekanisme Perlindungan HAM Dalam Konflik Bersenjata, Prodi Magister Damai dan Resolusi Konflik USK Gelar Kuliah Umum

Minggu, 28 September 2025 | 16.36 WIB Last Updated 2025-09-28T09:36:36Z


Laporan: Fohan Muzakir

GEMARNEWS.COM, BANDA ACEH – Program Magister Damai dan Resolusi Konflik Sekolah Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK) kembali menggelar kuliah tamu untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan mahasiswa, sekaligus meningkatkan kepekaan terhadap isu-isu terkini di Indonesia, termasuk Aceh.

Kali ini, kuliah kepakaran mengundang Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, sebagai narasumber utama untuk membahas "Mekanisme Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Konflik Bersenjata", pada Sabtu (27 September 2024).

Kegiatan yang digelar secara daring ini dipandu langsung oleh Suraiya Kamaruzzaman, Dosen Program Studi Magister Damai dan Resolusi Konflik SPs USK. Acara ini diikuti lebih dari 80 peserta dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, praktisi, dan akademisi. 

Dalam paparannya, Usman Hamid menekankan pentingnya Hukum Asasi Manusia Internasional dan Hukum Humaniter Internasional, yang memiliki kaitan erat dengan sejarah Aceh. Ia menyoroti bahwa masih banyak kasus pelanggaran HAM di Aceh yang belum terselesaikan, menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah Indonesia. Menurutnya, pendekatan penyelesaian non-yudisial sering kali tidak berpihak pada korban.

"Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Aceh masih menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia. Implementasi non-yudisialnya sangat tidak memihak kepada korban, karena korban sering kali tidak mendapatkan keadilan yang substansial," ujar Usman Hamid.

Di sisi lain, Usman Hamid juga membahas persepsi bahwa HAM sering dianggap bertentangan dengan kedaulatan negara, di mana kepedulian terhadap isu HAM kadang dipandang sebagai intervensi tidak sah dalam urusan internal suatu negara. Ia menekankan perlunya keseimbangan antara prinsip-prinsip tersebut untuk menjaga martabat kemanusiaan.

Usman Hamid juga turut menyentuh penerapan Hukum Kebiasaan Internasional, khususnya terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh. Meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi pengungsi internasional, ia menjelaskan adanya kewajiban moral dan hukum kebiasaan yang mengikat. 

“Hukum kebiasaan internasional menegaskan bahwa siapa pun yang terombang-ambing di laut harus diselamatkan, tanpa memandang statusnya. Kasus pengungsi Rohingya di Aceh adalah contoh nyata bagaimana Indonesia bisa menerapkan prinsip ini, meski tanpa ratifikasi formal," tambah Usman Hamid.

Lebih lanjut, Usman menjelaskan tentang dua instrumen utama HAM internasional yang wajib dijalankan, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang bersama dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) membentuk apa yang dikenal sebagai Paket Hak Asasi Manusia Internasional atau International Bill of Rights.

Sementara itu, Koordinator Program Studi Magister Damai dan Resolusi Konflik USK, Dr. Masrizal S.Sos.I., M.A berharap melalui kuliah kepakaran ini mahasiswa dapat membuka cakrawala berpikir yang lebih luas. 

"Kuliah tamu ini bertujuan untuk mendorong pemahaman mendalam tentang penerapan HAM di tengah dinamika konflik, khususnya yang relevan dengan konteks Aceh" ujar Dr. Masrizal S.Sos.I., M.A.

"Mahasiswa diharapkan turut berkontribusi secara akademis dalam menyelesaikan persoalan HAM di Aceh, baik melalui penelitian maupun advokasi. Kegiatan serupa diharapkan terus digelar untuk memperkuat peran akademisi dalam isu kemanusiaan nasional" pungkasnya.

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update