Gambar ilustrasi kegiatan pertambangan
GEMARNEWS.COM BLANGPIDIE - Beberapa waktu terakhir, masyarakat Aceh Barat Daya (Abdya) dihebohkan dengan fenomena penemuan emas di sejumlah kawasan. Kabar ini memicu antusiasme warga untuk mendulang emas, bahkan melahirkan banyak penambangan ilegal yang berlangsung di sungai maupun lahan pertanian. Mereka menggunakan alat sederhana hingga mesin tanpa izin resmi, sehingga menimbulkan risiko kerusakan lingkungan dan masalah hukum. Selasa (7 Oktober 2025)
Di sisi lain, Abdya juga telah menjadi lokasi aktivitas perusahaan tambang resmi. Misalnya, PT Bumi Babahrot yang mengelola tambang bijih besi di Kecamatan Babahrot, PT Sinar Mentari Dwiguna (SMD) yang pernah beroperasi di lahan bekas PT Juya Aceh Mining, serta PT Abdya Mineral Prima yang mengantongi izin eksplorasi emas di kawasan Kuala Batee. Keberadaan perusahaan-perusahaan ini justru menambah kompleksitas persoalan, karena sebagian warga menilai keberadaan tambang besar sering mengabaikan kepentingan masyarakat lokal.
Ironisnya, fenomena besar ini tampak belum direspons serius oleh pemerintah daerah maupun pusat. Maraknya penambangan emas ilegal, kekhawatiran akan kerusakan lingkungan, serta ketidakjelasan manfaat ekonomi bagi masyarakat, seakan luput dari perhatian. Aparat kerap bergerak hanya setelah masalah membesar, sementara regulasi dan pengawasan masih lemah. Akibatnya, masyarakat dibiarkan berjalan sendiri: ada yang nekad mendulang emas untuk menyambung hidup, ada pula yang menanggung dampak kerusakan lahan dan air.
Suara dari Lapangan
“Untuk lebih spesifiknya, pihak perusahaan seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan terutama bagi warga yang berada di ruang lingkup perusahaan, tapi ini mereka malah mempersempit lapangan pekerjaan,” ujar Marzuki, tokoh masyarakat di Babahrot (Aceh Times, 29 Januari 2025).
Warga juga menuding kebun mereka tercemar limbah; mereka mendesak agar perusahaan menghentikan segala bentuk aktivitas sebelum menyelesaikan kerugian yang muncul. “Jangan mencari keuntungan di atas kerugian masyarakat,” tegas salah seorang warga (Times Indonesia, 5 Februari 2025).
Dek Young, salah satu warga, mengatakan: “Banyak debu yang diakibatkan perusahaan ini. Kami khawatir warga akan menerima dampak buruk akibat beroperasinya perusahaan ini yang letaknya sangat dekat dengan pemukiman warga.” (Ketik.com, 27 Januari 2025).
Sejumlah petani bahkan melarang PT Bumi Babahrot kembali beroperasi karena lahan sawit mereka rusak dan tercemar limbah saat musim hujan. “Kami tidak ingin terus menjadi korban. Perusahaan harus bertanggung jawab,” ujar salah seorang petani (Gumpalan News, 3 Februari 2025).
Tambang dalam Pandangan Islam
Islam mengajarkan bahwa sumber daya alam berskala besar termasuk kategori milik umum. Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” Para ulama menegaskan, semua yang menjadi kebutuhan pokok manusia tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu.
Dengan demikian, tambang bukanlah milik perusahaan ataupun investor asing semata, melainkan milik rakyat. Negara hanya bertindak sebagai pengelola yang wajib memastikan hasilnya kembali pada masyarakat luas.
Realitas dan Tanggung Jawab
Sayangnya, praktik di lapangan kerap jauh dari nilai tersebut. Penemuan emas memicu tambang ilegal yang merusak, sementara tambang resmi dikelola korporasi besar yang kerap dituding tidak memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Di saat yang sama, lemahnya perhatian pemerintah memperburuk keadaan: pengawasan longgar, kebijakan tidak tegas, dan suara masyarakat sering diabaikan.
Padahal, Al-Qur’an menegaskan: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya” (QS. Al-A’raf: 56). Prinsip ini seharusnya menjadi pegangan, bahwa eksploitasi berlebihan yang merusak keseimbangan alam tidak dibenarkan.
Dari perspektif Islam, ada tiga hal penting. Pertama, hasil tambang harus digunakan untuk kemaslahatan rakyat, bukan hanya segelintir elit. Kedua, perusahaan maupun masyarakat wajib bertanggung jawab menjaga lingkungan. Ketiga, pemerintah sebagai wali al-amr tidak boleh abai, sebab pengelolaan tambang adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan adil dan transparan.
Islam menekankan keadilan distribusi. Al-Qur’an mengingatkan agar harta “tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. Al-Hasyr: 7). Jika kekayaan tambang hanya menambah kaya yang sudah kaya, jelas hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Pertanyaannya: apakah kita sedang menjaga amanah emas di Abdya, atau justru mengkhianatinya?
Sejarah Pengelolaan Tambang dalam Islam
Sejarah kekhilafahan Islam menunjukkan praktik itu berjalan nyata. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tambang besar diperlakukan sebagai milik umum, dan hasilnya masuk ke Baitul Mal untuk membiayai pendidikan, infrastruktur, serta kesejahteraan rakyat.
Di masa Abbasiyah dan Utsmaniyah, regulasi tambang dibuat ketat agar terhindar dari monopoli, dan pendapatan dari tambang digunakan untuk kepentingan publik, bukan segelintir elit.
Saatnya Menjaga Amanah
Dari pengalaman sejarah ini, ada pelajaran penting bagi Abdya: tambang harus dikelola dengan prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Namun, semua itu tidak akan terwujud selama sistem yang dipakai masih berorientasi pada keuntungan segelintir pihak.
Islam telah memberikan aturan yang jelas. Pada masa kekhilafahan, hasil tambang dimasukkan ke dalam Baitul Mal dan dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk pejabat atau perusahaan. Prinsip ini hanya bisa terwujud dengan penerapan sistem pemerintahan Islam yang menjadikan syariat sebagai dasar pengelolaan.
Karena itu, sudah saatnya kita kembali kepada aturan Islam dalam mengelola kekayaan alam. Hanya dengan sistem Islam, pengelolaan tambang akan dijalankan dengan penuh amanah, adil, dan berpihak pada kemaslahatan umat. Emas tidak lagi menjadi sumber kerusakan, melainkan berkah yang membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat.( By Sukma Juwita Pemerhati lingkungan )