Dok. foto : Agus Safrizal
Gemarnews.com, Opini - Pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letjen TNI Dr. Suharyanto, S.Sos., M.M. yang menyebut banjir bandang di Aceh “hanya mencekam di media sosial” menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Di tengah situasi darurat, ketika ribuan warga harus mengungsi dan kehilangan akses pada kebutuhan dasar, komentar tersebut justru dianggap sebagai bentuk kelalaian negara dalam membaca derita warganya. Pernyataan ini bukan saja menunjukkan kurangnya empati, tetapi juga menyingkap lemahnya kepekaan institusi kebencanaan terhadap ancaman nyata yang dihadapi masyarakat.
Dalam perspektif Keamanan Manusia ala Johan Galtung, bencana alam tidak hanya diukur dari besarnya kerusakan fisik. Ada dimensi lain yang lebih senyap namun menghancurkan: kekerasan struktural ketika negara gagal menyediakan perlindungan, informasi yang akurat, dan respons cepat bagi warganya. Komentar BPNB tersebut, dalam kacamata Galtung, termasuk bagian dari kekerasan struktural: sebuah kegagalan memahami penderitaan manusia sebagai ancaman yang harus ditangani secara serius, bukan disederhanakan sebagai fenomena “viral”.
Agus Safrizal, Wakil Ketua HIMPASAY, menilai pernyataan itu sebagai bentuk pengingkaran terhadap realitas lapangan. “Komentar seperti itu bukan hanya tidak tepat, tetapi melukai martabat warga Aceh. Bencana tidak pernah tentang seberapa heboh media sosial bergerak, melainkan tentang seberapa besar negara hadir melindungi warganya,” ujarnya. Ia menambahkan, “Ketika masyarakat kehilangan rumah, akses pangan, air bersih, dan rasa aman, maka negara seharusnya melihatnya sebagai ancaman serius terhadap human security bukan sebagai isu yang didramatisasi di dunia maya.”
Dalam sejumlah dokumentasi warga dan relawan, kerusakan yang terjadi tampak nyata: rumah-rumah tertimbun lumpur, jalan terputus, anak-anak mengungsi di tempat yang minim penerangan, dan lansia kehilangan akses obat. Namun, alih-alih merespons dengan data dan tindakan, pernyataan pejabat BNPB justru memperkuat kesan bahwa lembaga itu gagal memainkan peran sentralnya: menghadirkan kejelasan, memastikan keselamatan, dan menguatkan koordinasi darurat.
Mengutip spirit jurnalisme kritis, pernyataan itu menyingkap masalah yang lebih dalam: ketidakseriusan negara dalam mendudukkan bencana sebagai persoalan keamanan manusia. Bahwa keselamatan warga bukan hanya soal evakuasi, tetapi juga hak untuk dipahami, dilindungi, dan didampingi. Ketika suara korban dikecilkan, bahkan dianggap sekadar “geger media sosial”, yang runtuh bukan hanya rumah-rumah warga tetapi juga kepercayaan publik terhadap lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan.
Para pemerhati kebencanaan mengingatkan: bencana bukan fenomena visual, melainkan realitas hidup yang menimpa manusia. Karena itu, setiap pernyataan pejabat publik harus lahir dari data, empati, dan kesadaran bahwa negara memikul tanggung jawab moral dan struktural. Jika tidak, seperti diingatkan Galtung, negara justru menjadi bagian dari masalah bukan solusi.
Wakil Ketua HIMPASAY