Notification

×

Iklan ok

"Mengingat Wasiat Teungku Lah"

Jumat, 04 Desember 2020 | 17.06 WIB Last Updated 2020-12-04T10:06:56Z
“Meunyoe nibak si uroe gata deugoe lon ka syahid, beklah merasa seudeh dan patah semangat. Sebab lon sabe mendoa bak Allah Swt agar beugeubri syahid bila kemerdekaan Aceh karap toe. Lon tuan hana ingin pangkat bila Aceh merdeka.”

Perkataan tersebut diucapkan oleh Teungku Abdullah Syafii, panglima perang Aceh Merdeka, satu bulan sebelum syahid tertembak dalam kontak senjata dengan TNI di bukit Jim-Jim, kabupaten Pidie, 22 Januari 2002 lalu.

Teungku Lah, demikian ia biasa disapa semasa hidup, adalah sosok kharismatik serta akrab dengan berbagai kalangan. Kepergian Teungku Lah untuk selamanya, turut meninggalkan luka yang mendalam bagi masyarakat Aceh.

Bahkan 18 tahun setelah kepergiannya pun, Teungku Lah tetap sosok yang dirindukan oleh berbagai kalangan di Aceh.

Teungku Lah bukan alumni Libya. Namun ia menguasai seluk beluk medan tempur di Aceh. Saat TNI beberapa kali mengklaim telah ‘membunuh’ Teungku Lah di medan tempur, sosok itu justru mengundang wartawan untuk wawancara di hutan Pase.

Teungku Lah hanya seorang berkepribadian sederhana yang dilahirkan pada 12 Oktober 1947 di Desa Matanggeulumpang Dua, Bireuen, kabupaten Aceh Utara. Saat itu, Bireuen masih termasuk dalam wilayah adminitrasi Aceh Utara.

Pendidikan terakhirnya hanya di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Itu pun hanya sampai kelas tiga. Setelah itu, ia belajar ilmu agama di sejumlah pesantren. Namun kepiawaiannya mengolah kata serta menjalin komunikasi dengan berbagai elemen, menjadikan Teungku Lah, sosok yang susah dilupakan.

Ia gugur bersama istrinya Cut Fatimah dan dua pengawal setianya dalam pertempuran dengan pasukan TNI di hutan Jim-jim, Pidie Jaya, 22 Januari 2002.

Kepergiannya ditangisi rakyat dan GAM menyatakan berkabung selama 44 hari kala itu.

“Nyoe ka troh nyang lon lakee, ka troh watee nyang lon preh-preh (kini sudah tiba waktunya yang saya tunggu-tunggu),” kata Teungku Lah kepada Jala, salah seorang pengawalnya yang lolos dalam sergapan di hutan Jim-jim.

Banyak petuah-petuah Teungku Lah yang hingga kini masih meresap dalam ingatan masyarakat.

“Masa telah berubah. Strategi perang secara militer sudah ketinggalan zaman. Sekarang, bangsa Aceh harus pintar mengurus masalah-masalah diplomasi di dunia internasional. Sekarang, perang yang paling berat adalah perang politik dan diplomasi.”

Kalimat ini disampaikan Teungku Lah saat meninjau salah satu Markas Komando GAM di pedalaman Pidie, 6 Agustus 2000.

“Sesama bangsa Aceh, kita harus benar-benar saling setia. Tentara Aceh Merdeka harus bersikap seperti tentara Islam. Jangan meniru sifat kaum penjajah. Jangan ambil contoh pada kaum imperialis dan kolonialis. Jangan sampai loen deunge ada tentara Aceh Merdeka yang lebih kejam daripada tentara penjajah itu,” ujarnya mewanti-wanti kala itu.
×
Berita Terbaru Update