Notification

×

Iklan ok

Before You Eat Tayang di USK : Pentingnya Peran Akademisi Kampanye Cegah Praktek Perbudakan Modern di Laut dan Ilegal Fishing

Jumat, 10 Juni 2022 | 14.48 WIB Last Updated 2022-06-10T07:48:51Z
Gemarnews.com, Banda Aceh – Selain isu jaminan sosial dan keselamatan kerja, perdagangan manusia adalah masalah serius di sektor kelautan, penyelundupan manusia atas alasan ekonomi kerap menjadi modus kerja paksa.  Oleh Sebab itu, pentingnya peran akademisi dalam kampanye isu ini secara masif.

Krisis ini ditandai dengan minimnya jaminan hukum untuk memproses dan mengadili kasus-kasus bagi Anak Buah Kapal dapat menjadi tolok ukur bagaimana ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi isu ini.

Hal ini disampaikan oleh Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah M. Nasution,   dalam Penayangan film “Before You Eat”  dan diskusi dengan tema “Membangun Pengetahuan Kritis Kaum Muda dan Intelektual Dalam Menyikapi Kasus Perbudakan Di Atas Kapal Perikanan Asing”  bersama Mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan  Universitas Syiah Kuala (FKP USK), Kamis (9/6/2022) Kegiatan ini  juga dalam rangka memperingati Hari Laut Sedunia yang jatuh pada 8 Juni 2022. 

Adapun yang menjadi narasumber dalam diskusi yaitu. Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah M Nasution, Wakil Dekan III Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Syiah Kuala (USK) Dr. Ir. Muhammad Irham M.Si dan  Direktur Romah Transparansi, Crisna Akbar

Before You Eat adalah film dokumenter yang diproduksi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) didukung oleh Greenpeace Indonesia. Pemutaran film ini berkolaborasi dengan  Forum Jurnalis Lingkungan Aceh, Sahabat Laut, Rumoh Transparansi, Literasi Visual, yang juga melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan (BEM FKP) USK, dan Himika FKP USK.

Film dokumenter berdurasi 90 menit ini menayangkan kisah gelap buruh migran yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera asing. Di dalamnya juga terdapat banyak ragam polemik, mulai dari sistem administrasi perusahaan, keluarga yang tidak mengetahui nasib anaknya dan lemahnya peran negara dalam menjamin hak hidup warganya.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah M. Nasution,  mengatakan film dihadirkan untuk membangun kesadaran publik mencari solusi yang terjadi sektor kelautan. 

Selain isu perbudakan modern, Isu overfishing, illegal fishing, dan kelangkaan sumber daya perikanan memberikan dampak negatif terhadap para nelayan tradisional yang seharusnya dapat menangkap ikan dengan mudah di area pesisirnya harus berhenti bekerja pada sektor tersebut. 

Nelayan-nelayan itu, demi memenuhi kebutuhan ekonominya dibarengi dengan edukasinya yang rendah, harus rela dipaksa bekerja sebagai anak buah kapal penangkap ikan yang mekanisme kerjanya tentu terbilang lebih keras dan berat. Hal ini menyebabkan nelayan tradisional yang tidak memiliki keterampilan menangkap ikan secara profesional menjadi buruh migran.

"Aturan sudah ada tapi masih lalai dalam penegakan hukumnya,  pemerintah harus serius menanggapi hal ini," ujar Arif.

Dirinya menambahkan, solusi yang tepat yang bisa dilakukan yaitu dengan melakukan aksi sosial baik personal maupun komunitas guna mendorong aparat penegah hukum mengusut tuntas dan memberikan efek jera bagi mafia human trafficking.

Sementara itu Wakil Dekan III FKP USK, Dr. Ir. Muhammad Irham M.Si. juga menanggapi bahwa film ini menceritakan tentang sistem yang rusak yang terjadi dalam tatanan sosial masyarakat. kemiskinan jadi acuan utama rusaknya sistem tersebut. Dirinya juga mengatakan regulasi itu yang bagus disebabkan oleh kualitas pendidikan yang sudah bagus pula. 

"Isu perbudakan ini terjadi juga disebabkan karena factor kemiskinan, kemudian faktor pendidikan, maka tidak tau aturan, Kalau anda berpendidikan maka anda tidak akan diekploitasikan " tuturnya

Selain itu, tambahnya, terdapat kesenjangan dalam penegakan hukum dan perlindungan ABK  yang tidak memadai sebagai salah satu penyebab adanya praktik perbudakan di Laut. 

"Kita akademisi punya poin, tapi tidak punya power. Pemerintah dan DPR punya power, harus ada kolaborasi dari akademisi dan pemerintah menuntaskan kasus ini," jelansya.

Direktur Rumoh Transparasi, Crisna Akbar, saat ini isu perbudakan bagi ABK  asal aceh juga masih terjadi. Pihaknya saat ini juga  melakukan kajian dan investigasi  terkait kasus-kasus yabg dialami oleh ABK. Menurut kajian Rumoh Transparansi banyak kasus perbudakan bagi ABK asal Aceh, seperti ABK dari Aceh selatan, kemudian Bireuen dan Lhokseumawe. 

Koordinator Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Zulkarnain mengatakan peran media sangat penting menginformasikan antiperbudakan bagi ABK. Dirinya juga menambahkan advokasi kasus perbudakan terhadap ABK  harus diusut tuntas. Oleb karena itu dia juga mendorong akademisi dan LSM memberikan informasi kepada media massa. 

"Dalam permasalahan sosial yang kita lihat di film tadi, kita harap media harus andil dalam kampanye antiperbudakan dan mengawal advokasi kasus tersebut sampai tuntas," tuturnya.

Peserta nobar juga turut menandatangani surat terbuka untuk disampaikan kepada pihak terkait guna menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan yang berpihak kepada pekerja kapal perikanan terutama yang bekerja di kapal perikanan asing. [*]

×
Berita Terbaru Update