Notification

×

Iklan ok

Antara Mualem dan Syarat Pemimpin Yang Tidak Terpenuhi Versi Wali Tgk Hasan di Tiro

Minggu, 29 September 2024 | 09.33 WIB Last Updated 2024-09-29T02:33:33Z

GEMARNEWS.COM , OPINI - Wali Neugara Dr Tgk Hasan di Tiro MS, MA, LLD, PhD seorang deklarator dan tokoh pejuang Aceh di abad modern. Beliau merupakan cucu pejuang dan pemimpin Aceh, Wali Neugara Kesultanan Aceh, Syech Muhammad Saman atau yang lebih dikenal dengan sebutan Teungku Syiek di Tiro. 

Tgk Syiek di Tiro ditetapkan sebagai Wali Neugara Kesultanan Aceh oleh Dewan Kesultanan (Majlis Tuha Peut) di antaranya Teungku Imum Lueng Bata, Panglima Polem, Teungku Syiek di Tiro, Tuanku Hasyim Banta Muda. Hal ini disebabkan karena pemimpin terakhir Aceh saat itu, yaitu Sultan Muhammad Daud Syah dilantik menjadi Sultan masih sangat belia di umur 7 tahun pasca meninggal Sultan Mahmud Syah. Ketika itu Aceh sedang dilanda perang besar melawan penjajah Belanda. 

Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh, Syech Nuruddin Ar-Raniry dan Syech Abddurrauf Assinkily (Syiah Kuala) juga pernah menjadi Wali Neugara Kesultanan Aceh di masa pemerintahan 4 Sultanah. 

Dari namanya Dr Tgk Hasan di Tiro MS, MA, LLD, PhD memiliki 3 gelar Doktor (pendidikan S3) yaitu Dr, LLD dan PhD (Doktor Ekonomi dan Pembangunan, Doktor Hukum Internasional dan Doktor Ilmu Politik dan Kebijakan Publik). 

Wali Tgk Hasan di Tiro juga seorang tokoh cerdas yang alim ilmu agama dan ilmu politik Islam (fiqh siyasah). Di umur yang sangat muda beliau sudah menjadi seorang guru di dayah manyang di Tiro dan mengajarkan kitab Arab sebelum hijrah ke Amerika dan Eropa. 

Ketika umur 22 tahun saat Tgk Hasan di Tiro kuliah Ilmu Hukum di UII Jogjakarta, ia menerjemahkan kitab Siyasah Asy Syar'iyyah (ilmu politik Islam) karya Syech Abdul Wahab bin Khallaf (seorang Ulama Sunni bermazhab Syafi'i) dengan judul: Dasar Dasar Negara Islam dan terbit di Jogja tahun 1947.

Dari profil pendidikannya sebagai Doktor ilmu hukum, ekonomi, pembangunan, politik, kebijakan publik, sejarah kejayaan Aceh dan sangat paham ilmu agama Islam maka cukup jelas bahwa Tgk Hasan di Tiro memiliki syarat dan kapasitas yang mumpuni untuk melanjutkan perjuangan kakeknya sebagai pemimpin Aceh. 

Abuya Prof Dr Muhibbuddin Waly seorang ulama karismatik Aceh yang selalu bersama Wali Tgk Hasan di Tiro ketika di Aceh menyebutkan dalam pidato pelepasan jenazah Wali di mesjid raya Baiturrahman Banda Aceh pada 3 Juni 2010 bahwa: Wali sudah memenuhi syarat syarat Islam menjadi pemimpin Aceh.

Dalam kajian ilmu politik Islam (Fiqh Siyasah) para Ulama seperti Imam Al Mawardi dan Imam Al Ghazali cukup jelas menyebutkan banyak syarat untuk menjadi seorang pemimpin, di antaranya ulama yang mampu berijtihad dan memiliki keahlian sesuai tugas tugas yang dibutuhkan sesuai tingkatan kepemimpinannya. 

Qanun Meukuta Alam Al Asyi sebagai landasan hukum di masa kejayaan Aceh juga menerapkan syarat yang berbeda antara syarat menjadi Geusyik, Imum Mukim dan pemimpin Aceh (Sultan/Raja). 

Untuk menjadi seorang Imum mukim saja berdasarkan Qanun Al-Asyi dengan 16 syarat: (1) calonnya bukan bekas seorang abdi (budak) yang telah dimerdekakan, (2) berumur sekurang-kurangnya 40 tahun, (3) memahami hukum syara’ Allah dan hukum syariat Nabi saw, (4) berasal dari orang yang berketurunan baik-baik, (5) tidak ada permusuhan dengan manusia, (6) berani atas benar, (7) takut atas perbuatan yang salah, (8) dapat menahan amarah, (9) mengetahui hukum qanun syara’ kerajaan, (10) murah tangannya dan rahim hatinya kepada fakir miskin, (11) dapat mengerjakan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, (12) dapat jadi imam shalat Jumat di masjid, (13) dapat menjadi khatib untuk membaca khutbah Jumat, (14) dapat bertindak bijaksana, (15) memiliki sifat malu dan tidak tamak, (16) memiliki sifat-sifat sabar dengan merendahkan diri kepada sekalian manusia.

Untuk menjadi Pemimpin Aceh maka ada syarat lebih ketat lagi. Tidak kurang dari 22 syarat yang harus dipenuhi, di antaranya alim Ilmu agama dan ahli ilmu lainnya yang dibutuhkan dalam memimpin Aceh sebagai Sultan atau Raja. 

Wali Dr Tgk Hasan di Tiro memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankan konsep kepemimpinan menurut Islam dan menurut landasan sejarah kejayaan Aceh. 

Wali menulis dengan jelas dalam bukunya: "Segala sesuatu di Aceh dinilai berdasarkan standar Islami. Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh. Jika Aceh dalam sekeping koin, Islam adalah sisi lain dari koin itu. Aceh adalah negara yang didirikan atas dasar Islam dan hidup dengan hukum Islam. Sudah seperti ini sebagian besar dari dari catatan sejarah kita." (The Price of Freedom: The Unfinished Diary; 124)

Wali sangat paham maksud hadist: Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggulah terjadi kehancuran (HR. Bukhari dan Muslim). 

Sehingga beliau melantik para Menteri pada tahun 1976 sebagai pemimpin pejabat teknis dari kalangan intelektual yang cerdas, memiliki ilmu agama dan paham tugas teknis yang dipercayakan kepadanya. Seperti Dr Mukhtar Yahya Hasbi sebagai Perdana Menteri, Dr Husaini Hasan sebagai Menteri Sekretaris Negara, Ir Asnawi sebagai Menteri PU, Tgk Amir Ishak SH sebagai Menteri penerangan. Mereka semua para sarjana yang cerdas jebolan USU Medan awal tahun 1970-an.

Wali juga memilih kalangan Ulama sebagai Gubernur Wilayah meskipun dalam kondisi perang karena mengikuti perintah Islam dan Qanun Al Asyi yang pertama dilantik pada 24 Mei 1977 di gunung Halimon Pidie. 

Para Gubernur tersebu yaitu: Abon H Abdul Aziz bin Shaleh yang akrab dikenal Abon Aziz (pimpinan dayah MUDI Samalanga 1958-1989) dilantik sebagai Gubernur Wilayah Batee Iliek (Bireuen), Abu Ilyas Leube sebagai Gubernur Wilayah Linge (Aceh Tengah). Beliau juga sebagai Menteri Kehakiman dan Kadhi Neugara (ketua MA).

Abu Hasbi Geudong (Ayah Perdana Menteri Mukhtar Yahya) sebagai Gubernur Wilayah Pasee, Abu Ilyas Cot Plieng sebagai Gubernur Wilayah Pidie, Abu Ali Daud sebagai Gubernur Wilayah Tamiang. Cuma Dr Zubir Mahmud sebagai Gubernur Wilayah Perlak (Aceh Timur) yang bukan ulama karena belum ada Ulama Perlak yang siap jadi Gubernur saat itu dan Dr Zubir seorang yang taat beribadah dan juga menjabat sebagai Menteri Sosial.

Perjalanan sejarah sudah terlewati 47 tahun lalu, Wali sudah memberikan pendidikan, doktrin, amanah dan contoh yang baik untuk menempatkan pejabat sesuai kapasitas dan ilmu yang dimiliki. 

Untuk mencari pemimpin dengan kualitas ilmu seperti Wali sangat sulit. Tapi setelah 47 tahun berlalu yang saat ini cukup banyak intelektual yang paham ilmu agama, ilmu Pemerintahan, ilmu ekonomi, birokrasi. Seharusnya PA mengangkat Ulama sebagai calon Gubernur untuk menjalankan amanah Wali. 

Tapi untuk Wakil Gubernur saja tidak dipilih PA meskipun ada desakan seribuan Ulama Aceh agar Mualem berpasangan dengan Tu Sop (baca opini: Tu Sop Seorang Syuhada Saat Proses Pilkada, Serambi News 18/9/24). Penolakan ini kabarnya disebabkan ada intervensi pusat atau apakah Mualem sudah tersendera secara hukum dan politik pihak luar Aceh? 

Amanah Wali cuma tinggal kenangan. Layakkah Aceh dipimpin oleh tokoh politik yang sangat dangkal ilmu agama dan tidak ada ilmu umum (beut hana dan sikula pih tan)? 

Sangat bertolak belakang ketika Mualem bicara visi penegakan syariat Islam tapi orang yang paham Islam tidak boleh diusung menjadi pemimpin Aceh, konsep dan ilmu dari mana ini? 

Karena lemahnya profil pendidikan ilmu agama, ilmu ekonomi dan ilmu pemerintahan dan birokrasi, seharusnya, Muzakir Manaf tidak maju sebagai Calon Gubernur Aceh. 

Nama besar Mualem akan tetap abadi dalam sejarah Aceh jika mengikuti jejak dan cita cita Panglima besar, Tgk Abdullah Syafi'i untuk tidak terlibat dalam kontestasi merebut jabatan publik. Berdasarkan rekam jejak (track record) menjabat jabatan publik maka terbukti sulit bagi Mualem bisa membangun Aceh ini menjadi lebih baik. 

Berikut kutipan wasiat terakhir Abdullah Syafi’i yang populeh di kalangan pejuang GAM dan rakyat Aceh.

"jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyhidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apa pun apabila negeri ini (Aceh) merdeka”. 

Tgk Abdullah Syafi'i seorang Panglima besar yang ikhlas berjuang dan tidak bermimpi apalagi berambisi meraih jabatan dan kemewahan hidupnya dengan mengatasnamakan perjuangan untuk rakyatnya. Meskipun alumni beberapa dayah, beliau sadar kapasitas ilmunya hanya sebagai Panglima. 

Mualem sebagai tokoh publik yang sejak 2008 sampai saat ini menjadi Ketua Umum PA, Parpol pemenang Pemilu di Aceh selama 4 periode, Ketua KPA, pernah menjabat Wakil Gubernur 2012 - 2017 dan saat ini juga Wakil Wali Nanggroe. 

Peran dan track record-nya serta kapasitas untuk memimpin Aceh harus dikaji secara objektif agar Aceh tidak salah dalam memilih pemimpin yang berakibat kepada kehancuran sebagaimana yang telah disebutkan Rasulullah. 

Di sisi lain, sebagai murid ideologi Tgk Hasan di Tiro, sosok pribadi Mualem dan sepak terjangnya harus dihubungkan dengan pemikiran Wali Tgk Hasan di Tiro. Jangan sampai terjadi distorsi dan sabotase pemikiran Wali. Mualem diframing sedemikian rupa sebagai pengikut setia Wali tapi pada kenyataanya sudah bertolak belakang dengan konsep pemikiran dan ideologi yang sudah ditempa Wali ketika pelatihan militer di Tripoli Libya. 

Aceh harus memilih pemimpin yang punya kapasitas keilmuan yang mumpuni, Bustami Hamzah SE, MSi - Tgk H. Fadhil Rahmi Lc, MA pasangan yang tepat untuk memimpin Aceh. 

Pasangan ini didukung mayoritas Ulama serta taat dan patuh kepada Ulama. Bustami Hamzah seorang pelayan masyarakat dan birokrat senior yang sukses meniti karir dari bawah. Istrinya Mellani B.BA putri kesayangan seorang pengusaha sukses nasional asal Bireuen, H Subarni A Gani. 

Cawagub Syech Fadhil Rahmi seorang alumni dayah, politisi nasional sebagai anggota DPD RI, kandidat doktor Ilmu Syariah salah satu Universitas Islam terbaik. Istrinya Dr. Sarina Aini Lc, MA, PhD juga alumni dayah, seorang wanita muda yang cerdas dan akademisi dengan dua gelar Doktor (Dr dan PhD) lulusan luar negeri. 

Rakyat Aceh harus cerdas dan diberikan percerdasan politik menjelang Pilkada 2024 agar Aceh tidak terus terpuruk akibat kesalahan dalam memilih pemimpin.

Penulis : Tgk Mukhtar Syafari S.Sos MA
Alumni Dayah MUDI dan PPs UIN Ar Raniry. Pengkaji Pemikiran Politik Islam Tgk Hasan di Tiro
Koordinator Relawan UMUM (Ulama - Umara).
×
Berita Terbaru Update