Notification

×

Penegakan Syariat Islam di Aceh harus Diperkuat dan Diperjelas dalam Aturan yang Mengikat

Selasa, 22 April 2025 | 21.52 WIB Last Updated 2025-04-22T14:52:31Z
Dok. foto Penulis : Afrizal Refo, MA

Gemarnews.com, Opini - Syariat Islam adalah identitas dan kehormatan bagi masyarakat Aceh. Ia bukan hanya simbol, tetapi juga sistem hidup yang telah menjadi bagian dari sejarah panjang Tanah Rencong. Karena itu, ketika Aceh diberi kewenangan khusus oleh negara untuk menerapkan syariat Islam melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), itu bukan hadiah semata, melainkan amanah besar yang harus dijaga dan diwujudkan secara serius.

Namun, lebih dari 20 tahun sejak syariat ditegakkan melalui qanun-qanun daerah, kita masih melihat banyak celah dalam pelaksanaannya. Syariat seperti berjalan setengah hati. Ada aturan, tetapi penerapan lemah. Ada penegakan, tapi belum menyentuh seluruh aspek kehidupan umat. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga soal komitmen moral dan politik.

Salah satu persoalan yang paling mengganggu dalam penegakan syariat Islam di Aceh adalah lemahnya kekuatan hukum qanun. Meskipun sah secara legal di Aceh, banyak qanun syariat belum sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Ini menciptakan kekosongan hukum saat terjadi pelanggaran yang melibatkan warga luar Aceh atau non-Muslim. Akibatnya, aparat di lapangan sering kali kebingungan dan ragu mengambil tindakan.

Selain itu, penegakan syariat cenderung timpang. Masyarakat kecil yang melanggar seperti khalwat atau berpakaian tidak sesuai syariat langsung ditindak dan bahkan dicambuk. Namun, ketika pelanggaran dilakukan oleh orang-orang berpengaruh, sering kali tidak ada proses hukum yang jelas. Ketidakadilan ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap syariat itu sendiri.

Oleh karena itu syariat Islam sejatinya adalah sistem hukum yang sangat menekankan prinsip keadilan. Dalam sejarah Islam, tidak ada keadilan tanpa keberpihakan terhadap yang lemah dan tidak ada syariat tanpa akhlak. Karena itu, ketika penegakan syariat di Aceh tampak lebih sering menyasar rakyat kecil seperti kasus khalwat, pakaian, dan pelanggaran seremonial lain, namun luput dari persoalan korupsi, ketidakadilan birokrasi, dan penyalahgunaan kekuasaan, maka yang lahir bukanlah ketundukan, melainkan skeptisisme.

Ketika masyarakat merasa hukum hanya tajam ke bawah, kepercayaan terhadap syariat bisa luntur. Padahal, syariat tidak pernah dimaksudkan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan menebarkan kebaikan di muka bumi.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka semangat syariat yang seharusnya membawa rahmat dan keadilan justru bisa berubah menjadi alat kekuasaan yang kehilangan makna spiritualnya.

*Wilayatul Hisbah dan Peran Pemerintah*
Wilayatul Hisbah (WH) sebagai ujung tombak pelaksana syariat menghadapi berbagai keterbatasan. Mulai dari jumlah personel, anggaran yang minim, hingga kurangnya pelatihan yang memadai. Di banyak daerah, WH tidak memiliki kekuatan memadai untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh. Ini menjadi ironi: syariat yang besar dan agung, tetapi dijalankan oleh lembaga yang lemah.

Pemerintah Aceh juga perlu lebih serius. Syariat tidak cukup hanya dengan menerbitkan qanun. Ia harus diiringi dengan pelaksanaan yang konsisten dan teladan dari para pemimpinnya. Ketika pejabat publik justru menjadi pelanggar syariat, maka wibawa aturan akan runtuh. Keteladanan dari atas adalah kunci agar masyarakat di bawah percaya dan patuh terhadap aturan yang dibuat.

Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memperkuat penegakan syariat di Aceh:

Pertama, qanun-qanun syariat perlu diperkuat melalui harmonisasi dengan peraturan nasional. Pemerintah Aceh dan DPR Aceh harus aktif berdialog dengan pemerintah pusat agar kekhususan Aceh tidak hanya diakui secara simbolik, tetapi juga didukung dalam regulasi nasional yang lebih kokoh.

Kedua, reformasi kelembagaan WH dan lembaga pengawas syariat lainnya harus segera dilakukan. SDM-nya harus ditingkatkan, anggarannya diperluas, dan sistem kerjanya diperbaiki agar pengawasan syariat tidak terkesan elitis atau hanya menyasar kelompok tertentu.

Ketiga, pendekatan edukatif harus lebih dikedepankan. Dakwah melalui masjid, sekolah, media sosial, hingga kegiatan keagamaan perlu digalakkan. Masyarakat perlu paham bahwa syariat bukan hanya tentang hukuman, tetapi tentang keselamatan dunia dan akhirat.

Keempat, libatkan ulama dan tokoh masyarakat dalam setiap proses penyusunan dan pelaksanaan qanun. Syariat yang dijalankan dengan pendekatan keilmuan dan hikmah akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas.

Syariat Islam di Aceh adalah amanah besar yang tidak boleh dijalankan secara setengah hati. Ia harus ditegakkan dengan adil, konsisten, dan menyeluruh. Kelemahan dalam pelaksanaannya saat ini bukan alasan untuk mundur, tetapi menjadi tantangan bagi kita semua untuk membenahi dan memperkuat sistem yang ada.

Jika kita ingin Aceh tetap dikenal sebagai Serambi Mekkah, maka syariat Islam harus menjadi cahaya, bukan sekadar slogan. Ia harus hadir dalam keadilan hukum, keteladanan pemimpin, serta kesadaran kolektif masyarakat.

Maka sekaranglah saatnya kita bertanya: apakah kita masih serius ingin menjadikan syariat Islam sebagai dasar kehidupan di Aceh? Jika iya, maka langkah perbaikan tidak bisa ditunda lagi.

Penulis : Afrizal Refo, MA
Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa 
Wakil Ketua PARMUSI Kota Langsa

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update