Dok.foto Penulis : Dhia Athaya Nafisa
Bagi sebagian masyarakat Aceh, Kebijakan ini dinilai sebagai upaya untuk mempertahankan kehormatan agama ditengah derasnya pengaruh modernisasi. Namun di sisi lain, langkah tersebut juga memicu perdebatan di tingkat nasional: bagaimana seharusnya hukum berbasis agama diterapkan diruang publik yang semakin plural dan dinamis? Sampai sejauh mana norma sosial dapat membatasi kebebasan individu?
Dalam situasi seperti ini, kita perlu melihat persoalan ini dalam perspektif yang lebih luas bukan hanya soal aturan berpakaian, tetapi juga tentang esensi syariat, identitas budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Ada Aturan yang Mengikat: Qanun dan Imbauan Pemerintah
Kebijakan pemberian sanksi terhadap pria yang mengenakan celana pendek di Banda Aceh bukanlah keputusan yang muncul secara mendadak. Aturan ini berakar pada Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 pasal 13 yang mengatur tentang pakaian islami yang wajib dikenakan oleh masyarakat Muslim Aceh.
Pasal ini menegaskan bahwa pakaian tersebut harus menutup aurat, sopan, tidak menampakkan lekuk tubuh, dan tidak membangkitkan syahwat. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi ta’zir, yang kemudian diperkuat dengan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mengatur tentang hukum pidana di Aceh, berdasarkan syariat Islam.
Dalam ketentuan tersebut, masyarakat Aceh diwajibkan untuk berpakaian sesuai prinsip syariat Islam, yaitu menutup aurat dengan layak saat berada di ruang-ruang publik. Setiap pelanggaran atas ketentuan ini dapat dikenai sanksi, mulai dari teguran, pembinaan, hingga tindakan administratif. Di tingkat nasional, dasar hukum ini mendapatkan legitimasi melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, yang memberikan Aceh status otonomi khusus untuk menerapkan hukum syariat.
Dengan pijakan ini, Pemerintah Kota Banda Aceh memandang penegakan aturan berpakaian bukan hanya sebagai soal kepatuhan hukum, melainkan sebagai bagian penting dari menjaga identitas Aceh sebagai Serambi Mekkah.
Kondisi di Lapangan: Ketidaksesuaian antara Aturan dan Kehidupan Sehari-hari
Namun, ketika diterapkan di lapangan, kebijakan ini menghadapi berbagai tantangan.
Aceh, seperti halnya banyak daerah lainnya di Indonesia, terus berinteraksi dengan dunia luar. Wisatawan lokal dan internasional, pekerja migran, serta generasi muda lokal hidup di tengah pengaruh budaya global yang lebih terbuka, termasuk dalam hal ekspresi diri, salah satunya dalam berpakaian.
Banyak pemuda yang memandang celana pendek sebagai pakaian yang biasa dipakai untuk aktivitas santai, terutama saat berolahraga atau dalam kegiatan non-formal lainnya.
Bahkan, tidak jarang wisatawan yang datang ke Banda Aceh tidak mengetahui bahwa celana pendek di ruang publik dapat berujung pada penerapan sanksi berdasarkan syariat.
Kondisi ini mengungkapkan adanya kesenjangan antara tujuan peraturan dan realitas sosial yang ada. Ketika sanksi diterapkan tanpa adanya sosialisasi yang memadai, potensi terjadinya kesalahpahaman dan penolakan sosial menjadi sangat besar.
Tujuan Mulia Pemerintah: Menjaga Marwah di Tengah Zaman apa yg diinginkan pemerintah
Tak dapat disangkal, apa yang diinginkan Pemerintah Kota Banda Aceh adalah sesuatu yang luhur: menjaga nilai-nilai Islam di tengah derasnya perubahan sosial.
Pemerintah ingin memastikan bahwa ruang publik di Banda Aceh tetap berlandaskan nilai kesopanan, ketertiban, dan penghormatan terhadap norma keislaman. Penegakan aturan berpakaian diharapkan menjadi benteng dari lunturnya akhlak dan budaya Islam akibat pengaruh luar. Dalam perspektif ini, pemerintah Banda Aceh berupaya menjalankan amanah masyarakat Aceh untuk menegakkan syariat sebagai bagian dari identitas daerah.
Namun, tujuan baik saja tidak cukup. Seperti pepatah lama mengatakan, "The road to hell is paved with good intentions." Niat baik harus ditempuh dengan jalan yang benar dan pendekatan yang tepat.
Apa Masalah sebenarnya?
Permasalahan utama bukan terletak pada ajaran syariatnya, melainkan pada metode pelaksanaannya.
Kebijakan Banda Aceh yang menindak pria bercelana pendek menuai perhatian. Namun, jika aturan ditegakkan tanpa pendekatan edukatif, yang muncul bukan kesadaran, melainkan rasa takut.
Pendatang yang belum mengetahui aturan lokal justru langsung dikenai sanksi, tanpa diberi pemahaman terlebih dahulu. Akibatnya? Timbul ketidaknyamanan dan bisa menumbuhkan citra negatif terhadap syariat Islam itu sendiri. Padahal, esensi syariat adalah membimbing umat menuju kebaikan, bukan menekan atau menakut-nakuti.
Coba bayangkan jika pendekatannya lebih bersahabat melalui media yang kreatif, ruang diskusi terbuka, serta keterlibatan pemuda dan wisatawan dalam memahami nilai syariat sebagai wujud kasih sayang.
Bayangkan jika nilai-nilai syariat disampaikan lewat kampanye yang kreatif, forum diskusi terbuka, dan partisipasi generasi muda. Maka syariat bisa hadir sebagai simbol kelembutan dan bimbingan, bukan ketegangan. Inilah saat yang tepat bagi Aceh untuk menunjukkan bahwa penegakan nilai Islam bisa dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi rasa kasih, kebersamaan, dan pengertian.Aceh bisa menjadi simbol Islam yang sejuk, ramah, dan inklusif. yang dialogis, ramah, dan mengajak semua pihak untuk terlibat aktif akan jauh lebih efektif.
Penerapan sanksi syariat terhadap pria yang mengenakan celana pendek di Banda Aceh menuai beragam reaksi dari masyarakat. Di satu pihak, kebijakan ini lahir dari upaya untuk menegakkan nilai-nilai Islam yang menjadi ciri khas sistem hukum di Aceh.
Namun di pihak lain, pelaksanaannya harus mempertimbangkan dinamika sosial dan budaya yang terus berkembang, termasuk arus informasi yang semakin terbuka dan meningkatnya mobilitas penduduk. Mengambil pendekatan yang lebih bersifat edukatif bisa menjadi solusi yang lebih bijak dan berkelanjutan.
Daripada menitikberatkan pada aspek hukuman, pemerintah seharusnya fokus pada upaya membangun kesadaran dan pemahaman. Penyampaian nilai-nilai syariat melalui media kreatif seperti platform digital, karya seni, dan gerakan komunitas dapat memberikan dampak yang lebih positif dibandingkan tindakan represif.
Membangun Pendekatan yang Lebih Berbasis Edukasi
Dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi, sangat penting untuk mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat lokal maupun wisatawan mengenai peraturan berpakaian yang berlaku di Aceh, melalui media yang kreatif dan bersahabat, memberikan peringatan dan pembinaan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi, melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, pemuda, dan pelaku pariwisata dalam menyebarkan kampanye tentang nilai-nilai syariat Islam. Menegakkan prinsip keadilan substantif, dengan mempertimbangkan niat, keadaan, dan konteks pelanggaran sebelum menjatuhkan hukuman.
Penulis :
Nama : DHIA ATHAYA NAFISA
Kuliah : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Fakultas : Ilmu Sosial & Pemerintahan, Jurusan : Ilmu Admnistrasi Negara
Asal : Kecamatan Sukajaya
Kota Sabang