Notification

×

Kebahagiaan dan Problem Masyarakat Modern

Rabu, 11 Juni 2025 | 00.00 WIB Last Updated 2025-07-04T14:51:57Z

Firdaus M. Yunus
(Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh)


OPINI - Apakah kita sungguh bahagia, atau hanya merasa bahagia? Pertanyaan ini terdengar sederhana, namun menggugat begitu banyak lapisan kehidupan masyarakat modern—mulai dari cara kita hidup, bekerja, hingga cara kita memahami tujuan hidup itu sendiri. Dalam dunia yang serba cepat, terhubung, dan konsumtif ini, kebahagiaan kerap didefinisikan secara dangkal sebagai keberlimpahan materi, pengalaman menyenangkan, atau pengakuan sosial.


Budaya visual dan media sosial memperkuat ilusi bahwa bahagia adalah saat seseorang memiliki rumah besar, gaji besar, tubuh ideal, atau liburan mewah. Ukuran-ukuran semacam itu menjadi tolok ukur kebahagiaan, seolah-olah kesenangan luar otomatis mencerminkan ketenangan dalam. Padahal, jika kita menengok kembali pada filsuf Yunani kuno, Epikuros, kebahagiaan sejati justru tidak berakar pada hal-hal semacam itu. Bagi Epikuros, kebahagiaan adalah soal ataraxia (ketenangan batin) dan aponia (bebas dari penderitaan)—bukan tentang kemewahan atau kenikmatan yang meledak-ledak.


Epikuros membedakan keinginan manusia menjadi tiga: keinginan alami dan perlu, keinginan alami tapi tidak perlu, dan keinginan yang tidak alami dan tidak perlu. Makan, misalnya, adalah keinginan alami dan perlu. Tapi makan mewah setiap hari adalah keinginan yang tidak perlu. Dalam konteks masyarakat modern, keinginan-keinginan yang tidak alami dan tidak perlu justru didorong secara masif melalui iklan, algoritma digital, dan budaya konsumerisme. Maka, kebahagiaan pun berubah menjadi jebakan baru: orang merasa bahagia hanya jika mendapatkan pengakuan eksternal, bukan karena mengalami ketenangan batin internal.


Jika ditelisik lebih jauh, kebahagiaan dalam masyarakat modern sering kali diukur dari hal-hal seperti pencapaian finansial, kebebasan memilih produk, ketenaran di media sosial, dan pengalaman yang menyenangkan secara instan. Unsur-unsur ini bersifat eksternal, mudah hilang, dan sering tidak menyentuh kedalaman psikologis manusia. Ketika satu keinginan tercapai, muncul keinginan baru. Ketika satu kesenangan diraih, hadir kebosanan yang lain. Inilah paradoks kebahagiaan modern: makin dikejar, makin menjauh.


Epikuros tidak menolak kesenangan, tetapi ia membedakan antara kesenangan sesaat yang bersifat fisik dengan kesenangan sejati yang berakar pada ketenangan jiwa. Kebahagiaan sejati, menurutnya, justeru lahir dari kesederhanaan hidup, pertemanan yang tulus, serta kemampuan untuk merenungkan dan mengendalikan diri. Sayangnya, prinsip-prinsip ini kian terpinggirkan di masyarakat yang sibuk, kompetitif, dan terobsesi pada performa digital.


Ironisnya, kita lebih banyak mengunggah tawa daripada merasakannya dalam perjumpaan nyata. Kita lebih sibuk dengan validasi digital ketimbang menata ketenangan mental. Maka tak mengherankan bila masyarakat modern mengalami lonjakan gangguan mental meski hidup dalam kemewahan yang tidak terbayangkan oleh generasi sebelumnya.


Sudah waktunya kita meninjau ulang definisi kebahagiaan yang dikonstruksi oleh pasar, media, dan budaya populer. Kita perlu bertanya kembali: apakah yang saya kejar membuat saya bebas atau justru terikat? Apakah konsumsi saya memberi kedamaian atau justru kecemasan? Apakah hidup ini saya jalani dengan kesadaran, atau sekadar mengikuti arus yang dibuat oleh orang lain?


Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mungkin tampak sederhana, tapi justru inilah pintu masuk menuju kebahagiaan yang lebih dalam. Kebahagiaan bukanlah tujuan yang dikejar di luar diri, melainkan cara hidup yang dijalani secara sadar dan bijaksana. Di tengah dunia yang riuh, cepat, dan penuh citraan, kita perlu lebih banyak mendengar suara Epikuros—bukan untuk mundur dari dunia, tetapi agar tidak larut dalam tipu daya kebahagiaan semu.


Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update