Oleh
: Dr. H. Taqwaddin Husin, S.H. S.E., M.S.
Ketua
ICMI Aceh yang juga Akademisi dan Praktisi Hukum
GEMARNEWS.COM - Saya diminta oleh Organisasi Pemuda ICMI Aceh untuk menjadi salah seorang
narasumber pada Seminar Cendekiawan dengan tema Akselerasi Pengembangan Sektor
Migas dan Pertambangan Aceh; Menuju Tata Kelola Berkelanjutan dan Keseajhteraan
Masyarakat. Narasumber utama dalam seminar tersebut adalah Gubernur Aceh yang
diwakili oleh Kepala Bappeda, serta narasumber lainnya : Kepala BPMA, Rektor USK, Rektor UIN Ar-Raniry, Kepala
Dinas ESDM, dan saya sebagai Ketua MPW ICMI Aceh. Seminar yang digelar oleh
organisasi PEMUDA ICMI Aceh dihadiri oleh sekitar 300-an peserta dari berbagai
komponen strategis masyarakat Aceh. (21/6)
Sebelum membahas pada
pokok permasalahan, saya memulai dengan mengutip ketentuan dalam Pasal 18 B
ayat (1) UUD 1945, yaitu Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang.**)
Mengacu pada ketentuan Konstitusi
di atas, maka Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia
yang memiliki sifat Istimewa dan memiliki kewenangan-kewenangan khusus. Kedua
sifat tersebut telah diatur
dengan UU tersendiri, yaitu : UU 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU
11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur perihal Kekhususan Aceh. Kajian
saya kepada kedua undang-undang tersebut, menyimpulkan bahwa Aceh memiliki 4
sifat keistimewaan dan 26 kekhususan. Dua kekhususan Aceh yang terkait dalam
seminar ini adalah perihal Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan pembentukan
Badan Pengeloaan Minyak dan Gas Aceh (BPMA).
Sayangnya, walaupun
Aceh suatu daerah yang bersifat istimewa dan khusus, namun faktanya, data
kondisi Aceh saat ini masih memprihatinkan. Hasil penelusuran saya
memperlihatkan bahwa angka-angka sebagai berikut: Kemiskinan 12,64% ke-1 Sumatera (BPS 2024),
Korupsi urutan ke-6 nasinal (ICW, 2024), Narkoba tinggi ke-2 (RRI, 1/8/2024),
Stunting urutan ke-7 nas (Survei Status Gizi Indonesia, Kemenkes 2023), IPM
Aceh 75,36 urutan ke-27 nas (BPS Aceh, 2024), Indeks Pembgn literasi masy
relative rendah 72,4 (BPS, 2024), Index kerukunan beragama terendah ke-2
(Kemenag, IUB 2024), dan MTQ peringkat ke-20 nas (Kemenag, 2024).
Kembali ke judul di atas, saya perlu menjelaskan bahwa istilah penguasaan
berbeda makna dan filosofi dengan istilah pengelolaan. Dalam konteks hukum,
penguasaan adalah aspek legal yang mendasari hak, kewenangan, kewajiban dan
tanggung jawab. Sedangkan istilah pengelolaan lebih merujuk pada aspek
manajerial yang berupa perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
penilaian. Sehingga, adalah sesat pikir dan kebijakan, jika ada penjabat yang
hendak mengelola suatu territorial tertentu tanpa jelas alas hak penguasaannya.
Terkait penguasaan dan pengelolaan SDA Migas ini ada beberapa
undang-undang yang saling bersinggungan, yang perlu ditelaah untuk ditemukan
titik singgung dan keharmonisannya. Hal ini penting guna melahirkan kebijakan
yang benar-benar dapat diimplementasi dengan sepenuh hati.
Beberapa undang-undang (UU) yang bersinggungan dalam konteks Pengelolaan
SDA Tambang dan Migas Aceh adalah antara lain: UU Pokok Agraria, UU
Pemerintahan Aceh, UU Lingkungan Hidup, UU Pemerintahan Daerah, UU Minyak dan
Gas Bumi, UU Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba), UU Pulau-Pulau Kecil, dan lain-lain
Aspek penguasaan ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 dan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agaria, yang berbunyi; 1. Atas dasar ketentuan dalam Ps 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hak menguasai dari Negara memberi wewenang untuk : a. mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa; c. menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pengelolaan
ESDM Aceh
Titik singgung krusial ditemukan
antara UU Pemerintahan Aceh dengan UU Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 156 UU
No 11 Tahuh 2006 (UUPA) ditentukan; (1) Pemerintah
Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di
darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan tersebut
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha
yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. (3) Sumber daya alam
dimaksud meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan
mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan
kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan
pembangunan berkelanjutan. Jadi, dalam UUPA tegas disebutkan bahwa Pemerintah
kabupaten/kota berwenang mengelola SDA baik di darat maupun di laut Aceh.
Sedangkan dalam UU No
23 Tahun 2014 (UU PEMDA) tidak memberikan lagi kewenangan apapun untuk Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam hal pengelolaan SDA dimaksud. Hal ini bisa dicermati pada
lampiran pembagian kewenangan dan urusan, kecuali penerbitan izin pemanfaatan
langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota yang diberikan kewenangan
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini ditentukan dalam Suburusan Energi
Baru Terbarukan (lihat Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi Dan Sumber
Daya Mineral, UU 23/2014, halaman 128).
Peristiwa kerusakan
lingkungan akibat kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat dan daerah-daerah
lainnya, dimana Pemerintah Kabupaten/Kota beserta warga masyarakat tidak memiliki
kewenangan apapun terhadap hal tersebut, sehingga tidak bisa berbuat apapun,
telah menimbulkan kekecewaan mendalam bagi mereka. Pemerintah kabupaten/kota
dan warga masyarakatnya hanya menjadi korban bencana kerusakan lingkungan
tersebut.
Ketentuan berbeda terdapat di
dalam dalam Pasal 156 UUPA yang seharusnya berlaku di Aceh, dimana secara
juridis formal Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan dan urusan
pengelolaan pertambangan mineral, batu bara, panas bumi,
bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan.
Kalau merujuk pada
asas lex specialis derogate lex generalis, maka ketentuan dalam UUPA lah yang
harus diberlakukan, bukan UU PEMDA. Tapi faktanya bagaimana saat ini ? Banyak
Dinas Pertambangan Kabupaten/Kota di Aceh yang tidak ada lagi diberi kewenangan
apapun dan tidak ada lagi yang diurus, padahal kegiatan galian bebatuan atau
galian tambang lainnya terus terjadi di kabupaten/kota yang dapat merusak
lingkungan.
Pengelolaan
Migas Aceh
Dalam Pasal 160 ayat (1) UUPA,
ditentukan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama SDA migas yang berada di
darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh. Untuk melakukan pengelolaan bersama
tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu
badan pelaksana yang ditetapkan bersama.
Badan
tersebut di atas adalah Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA). Jadi badan ini
lahir karena diatur dalam atau diperintahkan oleh UU, bukan oleh PP. Sehingga,
jika ingin meniadakannya pun mesti melalui UU. Artinya, begitu kuatnya
eksistensi BPMA.
Kontrak
kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam
rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi
perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati bersama oleh Pemerintah
dan Pemerintah Aceh. Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai
kontrak kerja sama dimaksud, Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah,
yaitu PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengeloaan Bersama SDA Migas di Aceh.
Berlakunya ketentuan dalam UUPA
terkait Pengelolaan Migas bisa jadi berbenturan substansi dan mandatorinya
dengan UU Migas, maka untuk solusi normative terhadap hal ini juga dapat
digunakan asas lex specialis derogate lex generalis, dimana yang
diberlakukan adalah UUPA.
Dalam versi Aceh, pemberlakuan
asas lex specialis kedengarannya mudah. Namun faktanya menurut versi
Jakarta itu tidak mudah. Pemerintah Pusat bersikukuh bahwa ini ranahnya
nasional dalam negara kesatuan. Bahkan juga ada yang berargumen menggunakan
asas hukum lex posterior derogate lex priori, hukum yang terakhir
menganulir hukum terdahulu.
Solusi-solusi
dan Prospek Masa Depan Aceh
Terkait adanya
persinggugan hukum yang kadangkala memunculkan konflik regulasi, hemat saya
solusinya selain menggunakan asas-asas hukum; lex specialis dan lex
posterior, juga bisa dilakukan melalui kesepakan bersama seperti yang
baru-baru ini dipraktekkan terkait solusi kisruh 4 pulau. Dalam hal solusi
implementatif terkait pengelolaan SDA baik sektor ESDM (pertambangan mineral,
batu bara, panas bumi) maupun sektor MIGAS hemat saya diperlukan adanya
Kesepakatan Bersama antara Gubernur Aceh dengan Menteri ESDM.
Dalam konteks Ilmu
Hukum, adanya kesepakatan bersama ini melahirkan asas pacta sun servanda,
yaitu kesepakatan yang sah (Ps 1320 BW) yang dibuat para pihak mengikat mereka bagaikan
undang-undang. Lalu kesepakatan ini dikukuhkan dalam Kebijakan Administratif
sebagaimana diatur baik dalam Pasal 8 UUPA maupun dalam UU Administrasi
Pemerintah.
Solusi lainnya adalah
agar Pemerintah Aceh merumuskan kebijakan yang tepat menerima
investasi tambang dan migas untuk mensejahterakan rakyat dan tidak merusak
lingkungan. Perumusan kebijakan ini sebaiknya melibatkan multi stakeholder demi
untuk kemaslahatan bersama.
Pemerintah Aceh bersama pihak kampus di Aceh
harus mempersiapkan SDM Aceh dan membangun budaya etos kerja yang adaptif
dengan iklim industry untuk menyambut arus investasi tambang dan Migas. Hal ini
penting agar jangan sampai terjadi manakala investasi tambang dan migas mulai
eksplorasi dan eksploitasi maka orang Aceh hanya jadi penonton, lagee buya
krung teu dong-dong, buya tamong meuraseuki.
Jika sudah ada SDM yang handal dengan etos
kerja yang tinggi, maka kebijakan memprioritaskan
tenaga kerja orang Aceh menjadi suatu hal yang seharusnya. Hal ini penting agar
pada akhirnya proses
peningkatan pendapatan warga masyarakat yang menimbulkan multiplier effect
dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Aceh.