Notification

×

Ketergantungan Pemimpin terhadap Pihak Eksternal dalam Pengambilan Keputusan Negara

Selasa, 29 Juli 2025 | 09.11 WIB Last Updated 2025-08-02T02:11:51Z
Dok.foto Penulis : Dina Ramadhani

Gemarnews.com ,Opini - Dalam dinamika berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki visi dan integritas, tetapi juga kemandirian dalam berpikir dan bertindak. Tapi jika setiap masalah dilemparkan ke orang lain, berarti dia tidak punya pijakan atau bingung menentukan langkah.

Ketergantungan yang berulang dan terang-terangan kepada sosok atau kelompok tertentu menandakan adanya krisis kemandirian dalam kepemimpinan. Ini tidak hanya merusak wibawa pemimpin itu sendiri, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran publik bahwa negara dijalankan oleh kekuatan di balik layar. Dalam jangka panjang, kondisi semacam ini mengikis kepercayaan masyarakat dan menciptakan keraguan terhadap legitimasi keputusan politik yang diambil.

Menurut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, seorang presiden yang berinisial (P), dia memiliki tanggung jawab konstitusional yang besar, tidak hanya sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan. Seorang pemimpin nasional dituntut untuk mampu mengambil keputusan secara mandiri, cepat, dan tegas, terlebih dalam menghadapi persoalan-persoalan strategis bangsa.

Belakangan ini, muncul fenomena di ruang digital berupa sindiran terhadap Presiden P yang digambarkan seolah-olah "selalu melapor" atau "mengadu" kepada sosok yang berinisial (M) setiap kali menghadapi suatu permasalahan. Walau bersifat satiris dan cenderung fiktif, narasi ini mengandung pesan penting tentang persepsi publik terhadap gaya kepemimpinan yang dianggap terlalu bergantung pada pihak-pihak di luar lingkup otoritas formal.

Presiden P memang secara sah dipilih oleh rakyat. Namun ironisnya, dalam banyak isu nasional, sikapnya lebih sering terdengar sebagai “penerus pesan” dari sosok figure lain. Figur ini bukan pejabat negara, bukan pembantu presiden resmi, bahkan tidak pernah berdiri di depan rakyat. Tapi pengaruhnya begitu terasa, hingga seolah menjadi semacam ruang tunggu Keputusan sebelum presiden berbicara.

Kita tentu memahami pentingnya penasihat dan konsultasi dalam pemerintahan. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika konsultasi berubah menjadi ketergantungan. Ketika presiden tidak lagi bicara atas dirinya sendiri, tapi hanya sebagai corong dari tokoh di balik layar. Lalu, apakah bapak P adalah presiden? Atau hanya juru bicara bagi Presiden sebenarnya bernama M?

"Bapak P, rakyat tidak butuh pemimpin yang gagah dalam kampanye, lalu ragu saat berkuasa. Kemandirian adalah harga yang harus dibayar oleh setiap kepala negara. Sejarah tidak mencatat pemimpin yang takut melangkah sendiri. Ia hanya mencatat mereka yang berani berdiri, bahkan ketika harus sendirian.” - Ucap suara hati rakyat

Jika setiap keputusan harus menunggu restu dari pihak lain, maka jabatan Presiden hanya menjadi formalitas. Dan jika itu terus terjadi, maka sejarah akan mencatat Anda bukan sebagai pemimpin besar melainkan sebagai kepala negara yang berani mencalonkan diri, tapi tidak berani memimpin sendiri. Presiden bukan jabatan untuk mereka yang ragu. Presiden bukan boneka yang menunggu tarikan tali. Presiden adalah pemimpin. Dan pemimpin, harus berdiri sendiri.

Pemimpin yang baik tentu terbuka terhadap masukan dan konsultasi. Namun, ketika setiap kebijakan harus menunggu persetujuan atau nasihat dari satu pihak tertentu, maka yang terjadi bukan koordinasi, melainkan ketergantungan. Negara menjadi stagnan, proses pengambilan keputusan menjadi lambat, dan krisis bisa berkembang tanpa penyelesaian yang tegas. Pemimpin seharusnya mampu mengambil keputusan sendiri, terutama dalam situasi sulit. Jika selalu bergantung pada pihak lain, publik bisa kehilangan kepercayaan karena menganggap pemimpin tidak mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Lebih jauh lagi, kebiasaan "mengadu" kepada sosok eksternal dalam setiap masalah menunjukkan minimnya keberanian untuk mengambil risiko dan bertanggung jawab penuh. Padahal, salah satu kualitas utama seorang pemimpin adalah kemampuannya berdiri di garis depan ketika badai datang, bukan berlindung di balik nama lain. Bergantung pada masukan orang lain itu wajar, tapi jika terlalu sering dan dalam semua hal, maka itu menunjukkan kelemahan struktural dalam kepemimpinan. Pemimpin seharusnya menjadi sosok yang mampu mengayomi, mengambil keputusan sulit, dan bertanggung jawab penuh, bukan hanya sebagai penyambung lidah atau pelaksana kehendak pihak lain.

Pemimpin sejati adalah mereka yang tegas, bijak, dan mandiri dalam menentukan arah bangsa. Mereka tidak mencari sandaran dalam setiap langkah, tetapi menjadi tempat bersandar bagi rakyatnya. Sudah saatnya kita menagih kembali nilai-nilai kepemimpinan yang berpihak pada kemandirian, tanggung jawab, dan keberanian moral bukan sekadar loyalitas kepada satu suara.


Penulis : Dina Ramadhani 
kampus : universitas Islam negeri Ar-Raniry Banda Aceh 
organisasi : Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (anggota kesekretariatan HIMASTRA 2025, Kabinet Karya Inspirasi)

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update