Penulis : Muzadi, S.Pd.I
Gemarnews.com, Opini - Program kemitraan perkebunan sawit berbasis plasma telah berjalan puluhan tahun di Indonesia. Dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan, sistem inti-plasma ini sering disebut sebagai jalan keluar untuk meningkatkan kesejahteraan petani, mengurangi pengangguran, dan mendorong pemerataan ekonomi di pedesaan. Namun, realitas di lapangan tidak sesederhana yang tertulis di atas kertas.
Secara konseptual, pola inti-plasma mempertemukan dua pihak: perusahaan besar sebagai “inti” dan masyarakat lokal sebagai “plasma”. Perusahaan menyediakan sarana produksi, bibit, dan modal, sementara masyarakat mengelola kebun dan menjual hasilnya kepada perusahaan. Sebuah konsep ideal, di mana ada transfer pengetahuan, distribusi keuntungan, dan tumbuhnya kemandirian petani.
Namun dalam banyak kasus, petani plasma justru menjadi kelompok paling lemah dalam rantai pasok sawit. Banyak yang tidak memahami detil kontrak kerjasama, termasuk skema utang pembangunan kebun yang kemudian harus dicicil dari hasil panen. Ironisnya, saat harga Tandan Buah Segar (TBS) jatuh, petani menanggung kerugian, sementara perusahaan tetap melangsungkan operasional dengan cadangan besar.
Di Aceh, banyak kebun plasma terbengkalai karena konflik lahan, keterlambatan pembayaran, dan pembinaan yang minim. Tidak sedikit masyarakat yang merasa “ditipu secara halus”, karena setelah menyerahkan tanahnya ke perusahaan, mereka justru tak lagi punya kuasa atasnya.
Apakah plasma sawit sepenuhnya buruk? Tidak juga. Di beberapa daerah, skema ini berhasil mengangkat taraf hidup petani, asal pengawasan dan transparansi dijaga dengan baik. Yang menjadi masalah adalah ketika pemerintah daerah tidak hadir sebagai pengawas aktif, dan petani tidak dibekali pemahaman hukum serta manajemen kebun yang memadai.
Pemerintah harus meninjau ulang regulasi kemitraan ini. Harus ada perlindungan hukum yang kuat bagi petani, keterlibatan koperasi petani yang sehat, serta audit terbuka terhadap setiap bentuk kerjasama. Di sisi lain, perusahaan juga perlu menjalankan prinsip keadilan dan keberlanjutan, bukan hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Plasma sawit seharusnya menjadi pintu bagi kemandirian ekonomi desa, bukan jebakan utang atau konflik agraria berkepanjangan. Harapan ini masih bisa diwujudkan jika semua pihak berani bersikap jujur dan adil.
Penulis : MUZADI,S.Pd.I
Kepala Sekolah SMKS Muhammadiyah Banda Aceh
Pengiat isu-isu sosial pendidikan dan pembangunan masyarakat