GEMARNEWS.COM, BANDA ACEH - Revitalisasi sekolah di Aceh menjadi sorotan
publik pada tahun 2025 karena adanya temuan dugaan pungutan liar (pungli) dan
kekhawatiran bahwa proyek tersebut akan kembali mangkrak. Sejumlah pihak, termasuk tokoh masyarakat dan aktivis, menekankan
pentingnya pengawasan agar anggaran yang besar tidak disalahgunakan dan proyek
dapat selesai tepat waktu.
Meskipun tidak ada wawancara eksekutif
tunggal yang membahas semua aspek secara mendalam, berbagai pernyataan dari
pejabat dan organisasi pendidikan memberikan gambaran sikap mereka terhadap isu
revitalisasi sekolah di Aceh. (10/10/2025)
Berikut wawancara
eksekutif bersama Ketua
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinam Wilayah Muhammadiyah Aceh, Dr.
H. Iskandar Hasibuan. M. Pd. "
Agus
Publik tentu
ingin tahu. Banyak proyek revitalisasi sekolah di Aceh sebelumnya tak berumur panjang,
bahkan ada yang mangkrak. Dari sisi teknik dan tata kelola, apa sebenarnya akar
masalahnya?
Iskandar Muda Hasibuan
(IMH):
Kalau mau
jujur, akar persoalannya bukan sekadar soal dana atau niat baik, tetapi sistem
teknis dan manajemen mutu yang tidak terintegrasi. Banyak proyek kita selama
ini lebih cepat dimulai daripada disiapkan.
Bayangkan,
ada sekolah yang dibangun tanpa uji tanah, padahal karakter geoteknik Aceh
sangat beragam—dari tanah pesisir yang lunak hingga area pegunungan dengan
lapisan keras. Akibatnya, baru dua tahun berdiri, kolom retak, lantai turun.
Itu bukan takdir, melainkan konsekuensi dari desain yang tidak berbasis data
teknis.
Agus
Jadi, ketika
pemerintah mengatakan revitalisasi sekolah di Aceh “dipastikan tidak akan
mangkrak,” dari sudut pandang seorang ahli struktur, bagaimana kepastian itu
bisa diwujudkan?
IMH:
Kepastian
itu tidak boleh dimaknai sebagai janji politik, melainkan komitmen teknis yang
dapat diukur.
Ada tiga
pilar yang harus berjalan bersamaan:
1. Desain
adaptif dan tahan gempa,
2.
Pengawasan mutu tiga lapis, dan
3. Sistem
pemeliharaan pascakonstruksi.
Pertama,
desain adaptif. Setiap bangunan harus melalui soil investigation sebelum desain
dibuat. Kita tidak boleh lagi membangun sekolah dengan desain seragam untuk
seluruh Aceh. Sekolah di Lhokseumawe tentu berbeda dengan di Simeulue. SNI
1726:2019 sudah mengatur ketahanan gempa; tinggal bagaimana kita disiplin
menerapkannya.
Kedua,
pengawasan mutu tiga lapis. Mulai dari self-check oleh kontraktor, supervision
check mingguan, hingga independent audit bulanan. Jika sistem ini dijalankan
konsisten, saya yakin tidak akan ada proyek yang mangkrak atau kualitasnya
menurun.
Ketiga,
pemeliharaan berkala. Banyak yang lupa bahwa bangunan sekolah tidak selesai
setelah diresmikan. Harus ada jadwal inspeksi setiap enam bulan—mulai dari
atap, dinding, hingga pondasi. Itu bagian dari sistem manajemen siklus hidup
bangunan (lifecycle maintenance).
Agus
Menarik.
Namun sering kali proyek mangkrak juga karena birokrasi lambat dan koordinasi
antarinstansi yang lemah. Bagaimana Anda menilai hal ini?
IMH:
Benar.
Struktur bisa kuat, tetapi sistem bisa rapuh.
Jika desain
dan dokumen lelang disiapkan tergesa-gesa, maka konstruksi pun berjalan tanpa
arah. Solusinya sederhana tetapi tegas: Detail Engineering Design (DED) dan RAB
harus tuntas sebelum tahun anggaran berjalan. Jangan lagi “jalan dulu, gambar
belakangan.”
Selain itu,
koordinasi antara Dinas Pendidikan dan Dinas PUPR harus diperjelas. Dinas
Pendidikan memahami kebutuhan fungsional sekolah, sementara PUPR memahami aspek
struktur dan mutu material. Jika dua entitas ini tidak duduk bersama sejak
awal, proyek pasti timpang: bangunan mungkin selesai, tetapi tidak sesuai
kebutuhan pengguna.
Agus
Sebagai
akademisi senior, apa rekomendasi konkret Anda agar program revitalisasi ini
benar-benar menjadi contoh nasional?
IMH:
Saya akan
bicara praktis.
Pertama,
mulailah dari data, bukan perkiraan. Lakukan audit teknis terhadap
sekolah-sekolah eksisting: uji tanah, uji beton, dan uji struktur. Data inilah
yang menentukan langkah revitalisasi, bukan sekadar insting.
Kedua,
gunakan teknologi sederhana tetapi efektif, misalnya Building Information
Modeling (BIM) versi ringan untuk memantau progres konstruksi dan kualitas
pekerjaan secara visual. Bahkan dengan laptop sederhana pun bisa dilakukan.
Ketiga,
libatkan masyarakat sekitar sekolah sebagai pengawas sosial. Mereka dapat
melaporkan progres dan kondisi bangunan melalui aplikasi berbasis foto. Ini
bukan hanya soal transparansi, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki.
Keempat,
sediakan dana pemeliharaan. Saya sering mengatakan kepada pejabat daerah:
bangunan tanpa rencana perawatan ibarat tubuh tanpa imun. Idealnya, tiga persen
dari total biaya proyek dialokasikan untuk pemeliharaan tahun pertama.
Agus
Apakah sudah
ada contoh di Aceh yang berhasil menerapkan prinsip-prinsip tersebut?
IMH:
Ada beberapa
contoh menarik, salah satunya di Aceh Besar. Sekolah-sekolah yang dibangun
dengan desain modular berbasis tanah lokal serta melibatkan universitas sebagai
pengawas teknis terbukti lebih awet.
Strukturnya
kuat, ventilasi alami berfungsi baik, dan biaya pemeliharaan menurun hingga 40
persen.
Artinya,
ketika sains dan tata kelola berjalan beriringan, hasilnya nyata.
Agus
Terakhir,
jika Anda dapat menyampaikan pesan langsung kepada para pelaksana di
lapangan—kontraktor, konsultan, hingga pengawas—apa yang ingin Anda sampaikan?
IMH:
Saya hanya
ingin mengingatkan: revitalisasi sekolah bukan proyek beton, melainkan proyek
peradaban. Anak-anak Aceh akan belajar di dalam bangunan yang Anda cor hari
ini.
Kalau tiang
Anda bengkok, maka masa depan mereka ikut bengkok.
Maka,
lakukan pekerjaan ini bukan sekadar mengejar waktu, tetapi menegakkan mutu.
Dan bagi
pemerintah, jika ingin memastikan revitalisasi sekolah di Aceh tidak lagi
mangkrak, pastikan setiap tahapnya berbasis ilmu, data, dan tanggung jawab
profesional.
Bukan hanya
selesai dibangun, tetapi juga bertahan, aman, dan membanggakan.
Itulah makna
sejati dari pembangunan yang berkelanjutan.
Agus:
Sebuah pesan
yang menggugah. Terima kasih, Semoga arahan teknis dan semangat profesionalisme
yang Anda tekankan benar-benar menjadi napas baru bagi pembangunan pendidikan
di Aceh