Notification

×

Menguatkan Masyarakat Adat Aceh dalam Kerangka Otonomi Khusus

Selasa, 18 November 2025 | 10.43 WIB Last Updated 2025-11-18T03:43:21Z


 Oleh: Iskandar Muda Hasibuan
Pemerhati Masyarakat Adat Aceh


Baru-baru ini saya mengikuti Raker Majelis Adat Aceh di Ayani Hotel - Banda Aceh dari tanggal 17 s/d 18 Nopember 2025, Saya melihat Otonomi khusus Aceh yang telah berjalan hampir dua dekade sejakditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 sebenarnya membuka ruang besar bagi penguatan masyarakat adat. Namun dalam perdebatan publik, masyarakat adat sering kali hanya tampil sebagai ornamen budaya, bukan sebagai aktor pembangunan. Padahal, dalam sejarah panjang Aceh, masyarakat adat—dalam struktur gampong, mukim, serta nilai adat dan syariat—adalah fondasi keteraturan sosial dan sumber kekuatan ekonomi lokal.


Banyak kajian akademik, mulai dari penelitian Al-Chaidar, Hasanuddin Yusuf Adan, hingga studi antropolog Sri Wahyuni, menegaskan bahwa masyarakat adat Aceh memiliki sistem kelembagaan yang jauh lebih tua dibanding struktur pemerintahan modern. Pepatah Aceh “Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut” mencerminkan relasi organik antara adat dan hukum yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.


Namun dalam realitas kontemporer, masyarakat adat menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, otonomi khusus memberi dasar hukum untuk menguatkan lembaga adat seperti Tuha Peut, Imum Mukim, Keuchik, dan Majelis Adat Aceh. Di sisi lain, tekanan ekonomi modern, perubahan tata ruang, dan lemahnya integrasi adat dalam kebijakan sering membuat masyarakat adat berjalan di tempat, bahkan tersisih dari ruang-ruang strategis pengambilan keputusan.


Adat yang Terpinggirkan


Meski secara formal Aceh memiliki kelembagaan adat yang diakui, perencanaan pembangunan daerah kerap tidak memasukkan perspektif adat sebagai basis kebijakan. Hal ini tampak misalnya dalam eskalasi konflik agraria, yang meningkat dalam dekade terakhir. Banyak tanah ulayat gampong dan mukim diklaim sebagai tanah negara, dikonversi untuk perkebunan atau pertambangan, tanpa konsultasi bermakna dengan pemangku adat.


Ketika tanah ulayat hilang, maka hilang pula basis ekonomi adat. Masyarakat adat terpaksa beralih menjadi buruh murah di lahan yang sebelumnya mereka kelola. Tidak mengherankan bila ketimpangan sosial di beberapa wilayah adat semakin melebar.


Selain itu, generasi muda Aceh banyak beralih ke sektor urban dan meninggalkan pertanian tradisional maupun kerajinan adat. Ini bukan semata karena hilangnya minat, tetapi karena ekosistem ekonomi adat tidak memberikan nilai tambah yang memadai. Produk-produk kerajinan, madu hutan, rotan, atau hasil pertanian tradisional belum memiliki dukungan branding dan akses pasar yang memadai untuk bersaing di pasar modern.


Modal Sosial yang Besar, Tetapi Terlupakan


Aceh memiliki modal sosial yang sangat kuat. Struktur sosial seperti meunasah, tuha peut, dan lembaga adat gampong adalah mekanisme penyelesai sengketa yang efektif, jauh sebelum negara hadir. Nilai gotong royong, musyawarah, dan solidaritas komunal adalah kekuatan ekonomi tersendiri.


Namun modal sosial ini bukan bagian utama dalam perencanaan pembangunan. Banyak program pemberdayaan hadir sebagai proyek jangka pendek, tidak menyatukan partisipasi lembaga adat, dan tidak membangun institusi ekonomi yang berkelanjutan di gampong.


Padahal pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa pembangunan berbasis komunitas adat jauh lebih efektif, berkelanjutan, dan sesuai konteks lokal.


Potensi Ekonomi Adat Aceh


Masyarakat adat Aceh sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk menopang ekonomi daerah:


Pertama, hasil hutan bukan kayu.


Madu hutan, damar, rotan, dan gaharu dapat dikembangkan melalui model koperasi adat berbasis mukim. Pengelolaan ini terbukti lebih lestari dan lebih menguntungkan komunitas.


Kedua, pertanian dan perkebunan adat.


Kopi Gayo, pala, kelapa, pinang, hingga hortikultura lokal dapat diperkuat melalui pengembangan rantai nilai: dari produksi, pengolahan, hingga pemasaran.


Ketiga, pariwisata budaya dan ekowisata adat.


Gampong-gampong adat, kuliner tradisional, seni tari, dan ritual budaya dapat menjadi daya tarik wisata, namun harus dibangun tanpa merusak martabat komunitas.


Keempat, kerajinan tradisional dan ekonomi kreatif.


Kerawang Gayo, songket Aceh, ukiran kayu, hingga seni tradisi memiliki peluang besar jika diperkuat dengan digitalisasi, desain modern, dan akses pasar yang luas.


Potensi ini hanya menunggu kebijakan dan manajemen ekonomi yang tepat untuk berkembang.


Masa Depan Aceh Berbasis Adat


Penguatan masyarakat adat bukanlah langkah mundur. Justru negara-negara maju menempatkan masyarakat adat sebagai penjaga ekologi, identitas, dan ekonomi kreatif. Jepang mempertahankan komunitas Ainu, Kanada menguatkan masyarakat First Nations, dan Selandia Baru membangun kemitraan ekonomi dengan Māori.


Aceh dapat melakukan hal serupa: membangun pembangunan dari gampong, bukan dari proyek-proyek fisik yang sering tidak berakar pada kebutuhan masyarakat adat.


Rekomendasi Kebijakan


Untuk memastikan masyarakat adat menjadi subjek pembangunan, beberapa langkah strategis perlu ditempuh:


1. Integrasikan adat dalam perencanaan pembangunan.

Mukim, tuha peut, dan Majelis Adat Aceh harus duduk dalam perumusan RPJM, RKPD, hingga APBG.


2. Percepat legalisasi tanah ulayat melalui pemetaan partisipatif.

Konflik lahan tidak akan berakhir tanpa kepastian hukum bagi masyarakat adat.


3. Bangun koperasi adat dan BUMG berbasis komoditas lokal.

Pemberdayaan harus berbasis institusi ekonomi yang dimiliki masyarakat sendiri.


4. Digitalisasi ekonomi adat.

Penguatan pemasaran melalui platform digital, sertifikasi halal, dan branding produk adat sangat penting.


5. Revitalisasi pendidikan adat.

Kurikulum lokal tentang sejarah, adat, dan kewirausahaan tradisional harus diperkuat untuk menanamkan kebanggaan generasi muda.


Penutup


Keistimewaan Aceh hanya akan menemukan maknanya jika masyarakat adat ditempatkan sebagai fondasi pembangunan, bukan sekadar simbol budaya. Masyarakat adat Aceh telah bertahan melewati kolonialisme, konflik, dan bencana. Dengan penguatan ekonomi berbasis adat, Aceh tidak hanya menjaga identitasnya, tetapi juga membuka jalan menuju pembangunan yang lebih adil, berkelanjutan, dan bermartabat. (*)

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update