GEMARNEWS.COM, PULAU MASELA - Di Pulau Masela, Kabupaten Maluku Barat Daya, sasi laut bukan sekadar aturan adat, melainkan perjanjian diam antara manusia dan alam, sebuah sistem konservasi tradisional yang sudah berlangsung berabad-abad. Saat sasi diberlakukan, seluruh warga dilarang mengambil hasil laut di wilayah tertentu selama beberapa bulan. Barulah ketika masa sasi dibuka, mereka boleh melaut kembali, dengan hasil laut yang biasanya melimpah dan berkualitas baik.
Indonesia tengah menapaki jalan menuju swasembada garam dan pangan biru, namun laut kita masih menghadapi tekanan berat. Dalam konteks inilah sasi laut menunjukkan relevansinya. Tradisi ini melahirkan keseimbangan ekologis yang secara langsung mendukung ketahanan pangan masyarakat pesisir. Ia bukan sekadar warisan budaya, melainkan strategi adaptasi terhadap krisis iklim dan kelangkaan sumber daya.
Sistem sasi bekerja sederhana tapi efektif. Ada mekanisme buka-tutup wilayah tangkap yang diatur oleh kewang (penegak adat) bersama soa (kelompok kekerabatan) dan tokoh agama. Ketika sasi ditutup, seluruh aktivitas pengambilan hasil laut dilarang. Melanggar sasi bukan hanya dianggap mencuri, tapi juga menghina leluhur dan mengganggu keseimbangan alam.
Namun di balik larangan itu, laut mendapatkan kesempatan untuk bernapas. Terumbu karang pulih, populasi ikan dan biota seperti lola serta teripang kembali meningkat. Ketika sasi dibuka, hasil laut yang diperoleh warga jauh lebih melimpah dibandingkan jika mereka memaksa menangkap sepanjang tahun. Praktik ini juga menjamin keadilan sosial. Hasil panen sasi dibagi merata, sebagian untuk keperluan adat dan sosial.
Apa yang dilakukan masyarakat Masela sejatinya sejalan dengan kebijakan Blue Economy Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sasi laut secara alami telah menerapkan semua pilar itu, jauh sebelum istilah Blue Economy dikenal. Ia menjaga karbon biru lewat kelestarian lamun dan mangrove, memastikan regenerasi sumber daya, dan mendistribusikan hasil secara adil. Dengan demikian, tradisi ini bukan nostalgia masa lalu, melainkan inspirasi bagi masa depan.
Jika KKP menargetkan 30% wilayah laut Indonesia menjadi kawasan konservasi perairan pada tahun 2045, maka model seperti sasi layak diintegrasikan sebagai bagian dari strategi nasional. Integrasi sasi ke dalam kebijakan kelautan dan pendidikan lingkungan akan menjadi langkah strategis untuk melahirkan generasi bahari yang berkarakter ekologis.
Swasembada garam dan pangan biru bukan hanya tentang berdikari dari impor, tapi juga berdikari dari sisi moral dan budaya mampu menjaga laut dengan cara yang arif. Masela telah membuktikan bahwa konservasi bisa sejalan dengan kesejahteraan, tanpa kehilangan jati diri. Pungkasnya.
Pewarta : Adipatra Kenaro