Oleh Iskandar Muda Hasibuan
BANDA ACEH - Di tengah arus
globalisasi dan disrupsi teknologi, Indonesia melangkah ke babak baru dalam
sistem pendidikan nasional. Langkah ini tidak lahir dari gagasan spontan,
melainkan dari kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia,
di manapun ia tinggal, mendapatkan hak yang sama atas kualitas pembelajaran
yang bermakna. Inovasi itu bernama Tes Kemampuan Akademik (TKA)—sebuah
transformasi kebijakan berbasis sains yang menjadi fondasi baru dalam
pembangunan mutu dan keadilan pendidikan nasional.
Selama puluhan tahun, asesmen
pendidikan di Indonesia berfungsi semata-mata sebagai gerbang seleksi:
menentukan kelulusan, menentukan peringkat, dan sering kali menimbulkan tekanan
yang justru mengerdilkan semangat belajar. Kini, paradigma itu berubah secara
fundamental. TKA tidak lagi sekadar mengukur hasil belajar, melainkan menjadi
instrumen kebijakan presisi untuk meningkatkan mutu secara sistemik.
Dengan menggunakan pendekatan Teori
Respons Butir (Item Response Theory/IRT) yang telah teruji di dunia akademik
internasional, TKA memastikan bahwa setiap butir soal memiliki bobot kesulitan
yang terukur, valid, dan bebas bias. Pendekatan ini menjamin bahwa perbandingan
capaian siswa di Aceh, Papua, dan Jawa Barat memiliki dasar statistik yang adil
dan ilmiah.
TKA juga dirancang untuk mengukur
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS), seperti
penalaran kuantitatif, literasi saintifik, dan analisis data kompleks.
Keterampilan inilah yang lebih prediktif terhadap kesuksesan siswa dalam dunia
nyata—baik di perguruan tinggi, dunia kerja, maupun dalam kehidupan demokratis
yang kritis dan reflektif. Dengan kata lain, TKA tidak hanya menguji hafalan,
tetapi mengukur kemampuan berpikir dalam konteks yang dinamis dan tak terduga.
Dari Asesmen Menuju Instrumen Kebijakan
Salah satu keunggulan mendasar TKA
adalah kemampuannya menghasilkan data granular—data yang sangat rinci hingga ke
tingkat sub-domain kompetensi di setiap sekolah dan daerah. Dari data inilah
pemerintah dapat membaca peta kekuatan dan kelemahan pendidikan Indonesia
dengan akurasi yang belum pernah ada sebelumnya.
“Kita tidak lagi bergerak dengan
intuisi, tapi dengan bukti ilmiah,
Dengan basis data tersebut, kebijakan peningkatan mutu guru kini menjadi lebih terarah. Pelatihan guru tidak lagi generik, tetapi spesifik dan adaptif, menyesuaikan dengan kelemahan kompetensi yang diidentifikasi melalui TKA. Misalnya, jika data menunjukkan bahwa daerah tertentu memiliki kelemahan dalam literasi saintifik, maka modul pelatihan akan fokus pada peningkatan pedagogi berbasis sains dan penalaran eksperimental.
Pendekatan ini mengakhiri era trial
and error dalam kebijakan pendidikan. TKA menjadi kompas sains yang mengarahkan
setiap langkah reformasi: mulai dari perancangan kurikulum, pengembangan
kapasitas guru, hingga kebijakan anggaran pendidikan daerah. Dengan kata lain,
TKA mengubah evaluasi menjadi ekosistem pembelajaran nasional.
Keadilan Struktural dalam Pendidikan
Namun, TKA tidak hanya bicara soal
mutu—ia juga merupakan alat perjuangan keadilan struktural.
Di Indonesia, kesenjangan mutu
pendidikan antara wilayah perkotaan dan daerah 3T (terdepan, terluar,
tertinggal) masih menjadi tantangan besar. Dengan TKA, kesenjangan ini tidak
lagi menjadi wacana kualitatif semata, melainkan terukur secara ilmiah.
Hasil TKA digunakan untuk membangun
“heatmap pendidikan nasional”—peta visual yang menunjukkan tingkat penguasaan
kompetensi di seluruh daerah. Heatmap ini menjadi dasar bagi pemerintah dalam
redistribusi sumber daya pendidikan.
Sekolah-sekolah di daerah dengan skor
TKA rendah mendapatkan prioritas tambahan: guru terbaik dikirim untuk mengajar
di sana, dana bantuan pendidikan dialokasikan secara proporsional, dan
pelatihan intensif disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Dengan mekanisme ini, TKA berfungsi
sebagai jembatan menuju pemerataan kualitas pendidikan nasional.
Tidak ada lagi daerah yang dibiarkan
berjalan sendiri tanpa data yang mendukung kebutuhannya. Tidak ada lagi
kebijakan yang berdasarkan persepsi semata. Keadilan tidak cukup diucapkan—ia
harus diukur.
Lebih jauh, TKA membawa dampak
kultural yang mendalam pada cara guru dan siswa berinteraksi dengan
pengetahuan.
Selama bertahun-tahun, praktik
pembelajaran di Indonesia sering kali terjebak dalam budaya rote
learning—pembelajaran hafalan yang minim refleksi. Dengan hadirnya TKA yang
menekankan penalaran dan pemecahan masalah, guru didorong untuk merancang
pembelajaran yang melatih nalar, bukan sekadar mengulang informasi.
Kementerian Pendidikan pun memperkuat
gerakan Lesson Study, yaitu kolaborasi antar guru untuk merancang,
mengobservasi, dan merefleksikan praktik pembelajaran secara ilmiah. Pendekatan
ini mendorong guru menjadi desainer pembelajaran kritis, bukan hanya pelaksana
kurikulum.
Dalam konteks inilah, TKA berperan
sebagai cermin nasional yang merefleksikan efektivitas pedagogi, sekaligus
sebagai motor perubahan budaya belajar.
TKA juga menumbuhkan tanggung jawab
akademik kolektif. Sekolah tidak lagi berkompetisi secara sempit berdasarkan
angka kelulusan, tetapi bersama-sama berupaya meningkatkan kualitas
pembelajaran berbasis data. “Kita sedang membangun budaya baru: budaya yang
menghargai pemikiran, bukti, dan pembelajaran berkelanjutan.
Menjadi Teladan Global
Transformasi TKA kini menjadi
perhatian dunia. Beberapa negara berkembang di Asia dan Afrika telah menyatakan
minat untuk mempelajari model Indonesia ini, karena dinilai berhasil
mengintegrasikan asesmen nasional, kebijakan berbasis data, dan keadilan sosial
dalam satu sistem terpadu.
Bank Dunia dan UNESCO mencatat bahwa
desain TKA Indonesia menunjukkan model inovatif negara berkembang dalam
menciptakan asesmen yang adaptif dan berkeadilan.
Namun, pemerintah Indonesia tidak
berhenti di sana. Tahap berikutnya adalah integrasi penuh data TKA dengan
sistem penganggaran dan perencanaan pendidikan daerah. Dengan demikian, setiap
rupiah yang dialokasikan untuk pendidikan akan berdasar pada diagnosis empiris
yang terukur, bukan sekadar asumsi.
Langkah ini diharapkan akan melahirkan
model tata kelola pendidikan berbasis sains (science-driven governance)—di mana
kebijakan, data, dan akuntabilitas berjalan beriringan untuk mewujudkan
pemerataan kualitas pendidikan di seluruh nusantara.
Penutup:
Asesmen yang Mendidik, Kebijakan yang
Membebaskan
Pada akhirnya, TKA bukan hanya tentang
angka, grafik, atau laporan statistik. Ia adalah simbol komitmen moral dan
intelektual bangsa Indonesia untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar
keadilan sosial.
TKA adalah bukti bahwa ketika asesmen
dirancang dengan cerdas, ia mampu mendidik, menuntun, dan memerdekakan.
Sayai percaya, masa depan pendidikan
bukanlah perlombaan untuk mendapatkan nilai tertinggi, tetapi perjalanan
kolektif untuk membangun kecerdasan yang adil dan berkelanjutan. Dengan TKA,
kami menulis ulang narasi tentang bagaimana sebuah bangsa belajar — dengan
sains, dengan empati, dan dengan tanggung jawab moral terhadap setiap anak
Indonesia.
TKA kini bukan hanya inovasi
teknokratis, tetapi manifestasi ideologi pendidikan yang progresif dan humanis.
Di tangan para guru, siswa, dan pembuat kebijakan, TKA menjadi obor yang
menerangi jalan panjang menuju Indonesia Emas 2045—negara yang cerdas bukan
karena segelintir jenius, tetapi karena sistemnya adil, ilmiah, dan berdaya.
Penulis: Pernah Menjadi Guru Batu Pusat di SMA
Negeri Seulimum - Aceh Besar
