Penulis: Abdul Mugni
Gemarnews.com, Opini - PAGI di Bener Meriah tidak pernah benar-benar cerah sejak longsor itu datang. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, seolah menutup mata langit agar tidak terlalu menyaksikan luka yang menganga di bumi.
Jalan yang dulu menghubungkan kampung dan kecamatan kini berubah menjadi lorong penderitaan: licin, berlumpur, dan Panjang terlalu panjang untuk ditapaki dengan harapan yang masih utuh.
Sudah dua pekan bencana berlalu. Tetapi bagi warga di titik-titik terisolir, waktu seakan berhenti pada hari longsor itu terjadi. Akses transportasi putus. Kendaraan tidak bisa melintas. Yang tersisa hanyalah kaki manusia dan beban hidup yang dipikul di pundaknya.
Di jalur longsor itu, jual beli tetap terjadi, tetapi dengan cara yang menyayat nurani. Petani dari Lampahan memikul cabai 50 hingga 70 kilogram di punggung mereka, berjalan berkilo-kilometer menuju Kecamatan Permata. Wajah mereka tegang, napas terengah, keringat bercampur lumpur. Setiap langkah adalah taruhan: terpeleset atau bertahan.
Ketika cabai itu akhirnya terjual, mereka Kembali bukan dengan uang, melainkan dengan beras, telur, gas, dan sedikit harapan yang dibungkus kantong plastik. Lalu mereka menapaki jalan yang sama, dengan beban yang berbeda, tetapi rasa letih yang sama bahkan lebih dalam.
Di tengah alur penderitaan itu, pada Minggu, 14 Desember 2025, dua sosok datang bukan sebagai penyelamat, bukan pula sebagai pahlawan. Mereka datang sebagai manusia. Namanya Firdaus dan Mugni. Berangkat Tanpa Uang, Pulang dengan Luka di Hati.
Pukul 07.15 WIB, Firdaus dan Mugni berangkat dari Kecamatan Bandar Baro, Aceh Utara, menuju Kecamatan Permata, Bener Meriah. Mereka tidak membawa banyak hal tidak membawa dana besar, tidak membawa alat berat, tidak membawa janji. Yang mereka bawa hanya niat dan tenaga, dua hal yang juga sebenarnya terbatas.
Sekitar satu jam perjalanan, mereka tiba di lokasi. Apa yang mereka lihat bukan sekadar antrean manusia, tetapi barisan kepedihan. Ada ibu berjalan sambil menggendong anaknya, langkahnya goyah. Ada lelaki tua memikul karung beras dengan punggung yang sudah lama menyerah. Ada pemuda mendorong motor mati di lumpur, matanya kosong. Ada anak-anak yang diam terlalu lelah untuk bertanya. Firdaus terdiam lama. Mugni menarik napas panjang.
Tidak ada kata yang pantas diucapkan di tempat seperti itu. Maka mereka memilih bergerak. Tenaga yang terbatas, hati yang terus dipaksa bekerja Firdaus dan Mugni membantu apa yang bisa mereka bantu.
Mereka memikul cabai, mengangkat beras, menuntun warga yang hampir jatuh, dan membagikan air mineral untuk sekadar menunda dehidrasi di jalan yang kejam itu. Medannya licin, lumpurnya dalam. Kaki harus ekstra hati-hati.
Warga setempat mengenakan sepatu pacuk agar tidak terperosok. Firdaus dan Mugni pun beberapa kali hampir jatuh namun selalu bangkit, seperti warga yang mereka bantu. Tidak jarang mereka berhenti sejenak. Bukan karena malas, tetapi karena tenaga manusia ada batasnya. Di wajah mereka terlihat jelas kelelahan, iba, dan perasaan tak berdaya yang bercampur menjadi satu. Mereka ingin membantu lebih banyak, tetapi tangan mereka hanya dua. Mereka ingin tinggal lebih lama, tetapi tubuh mereka juga manusia.
Di saat seperti itulah, kesedihan menjadi berlapis sedih melihat warga menderita, sedih karena ingin menolong lebih, sedih karena tahu bahwa empati pun punya batas fisik. Warga yang Bertahan Tanpa Cahaya Di wilayah itu, listrik belum menyala, jaringan komunikasi belum tersambung, dan BBM masih langka.
Malam datang tanpa lampu. Informasi datang terlambat. Bantuan terasa jauh. Namun di tengah gelap itu, kehadiran Firdaus dan Mugni menjadi cahaya kecil bukan karena besar, tetapi karena tulus.
Seorang warga berkata lirih, “tenaga saja sudah sangat berarti bagi kami.” Kalimat itu sederhana, tetapi memukul keras. Betapa dalamnya penderitaan hingga sekadar tenaga pun menjadi hadiah besar.
Manusia menolong manusia, sama-Sama dalam keterbatasan Firdaus dan Mugni bukan malaikat. Mereka tidak kebal lelah. Mereka tidak punya sumber daya berlebih. Mereka pulang dengan tubuh pegal dan hati yang berat karena meninggalkan begitu banyak orang yang masih harus berjalan sendiri.
Tetapi justru di situlah kemanusiaan menemukan bentuknya yang paling jujur bukan pada siapa yang paling kuat, melainkan pada siapa yang tidak pergi ketika melihat penderitaan.
Di jalan berlumpur itu, warga dan relawan berdiri pada posisi yang sama-sama rapuh. Yang satu memikul beban hidup, yang lain memikul beban empati. Keduanya sama-sama meneteskan keringat. Keduanya sama-sama manusia.
Ketika Firdaus dan Mugni meninggalkan lokasi, langkah mereka terasa lebih berat daripada saat datang. Bukan karena lumpur, tetapi karena bayangan wajah-wajah yang mereka tinggalkan di belakang.
Warga berharap bukan pada keajaiban melainkan pada lebih banyak Firdaus dan Mugni yang datang. Tidak harus membawa uang. Tidak harus membawa nama. Cukup membawa diri dan kesediaan berbagi lelah.
Di negeri yang sering menunggu besar untuk bergerak, kisah ini mengajarkan satu hal sunyi bahwa kadang, kemanusiaan lahir dari orang-orang yang tahu dirinya terbatas, tetapi tetap memilih turun ke jalan. Dan di jalan berlumpur itu, air mata tidak pernah benar-benar kering baik di wajah mereka yang tertimpa bencana, maupun di mata mereka yang mencoba membantu, meski tak mampu menolong semua.
Penulis: Abdul Mugni, Masyarakat Kota Lhokseumawe