Notification

×

Iklan ok

Membuka Tirai Cakrawala, Melepas Kejumudan Aceh

Jumat, 14 Agustus 2020 | 21.46 WIB Last Updated 2021-05-19T09:19:02Z
Mahzal Abdullah, (Foto/ist).

Oleh Mahzal Abdullah

Gemarnews.com, Pekan menjelang peringatan Perdamaian Aceh ini terasa ‘panas’ beda dari biasanya, isu yang berkembang di masyarakat terkait Wali Nanggroe pada peringatan 15 tahun Damai Aceh akan mengibarkan ‘sang saka’ Bulang Bintang berdampingan dan sedikit dibawah dengan Sang Saka Merah Putih pada tiang yang masih ‘perawan’ sejak damai tersibak di Tanah Rencong, pro-kontra Tour Damai Aceh yang diinisiasi oleh Pemerintah Aceh di tengah Aceh masih phang phoe (morat marit).

Menariknya, perang narasi antara golongan muda Aceh modern terangkat ke permukaan (media sosial), Acehnologi karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad ‘ditinjau ulang’ oleh kawula muda sekaliber Zulfata, Miswari dan Ramli Cibro dalam diskusi daring bertajuk “Meninjau Ulang Acehnologi” yang dilangsungkan pada Selasa, 11 Agustus 2020 kemarin.

Zulfata dikenal dengan karya fenomenalnya sejak diterbitkan buku Formasi Nalar Aceh (2015), Pemikiran Politik Ali Hasjmi (2017), hingga lahirnya mazhab berfikir (bukan fikih) Agapolisme (isme Agama dan Politik ; mazhab berfikir teologis-interkonektif) di bukunya Agapolisme jilid 1 hingga 10 (2016-2020) dalam menyikapi fenomena sosial dalam masyarakat Aceh menyongsong kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, fenomena tersebut ia kupas dalam bentuk tulisan yang dimuat di berbagai media, dikumpulkan ulang kemudian dibukukan menjadi Agapolisme yang dicetak berjilid. Miswari, merupakan pemuda berintelektual tinggi, penulis mengenalnya lewat karyanya, buku berjudul Fisafat Terakhir (2016) yang mengupas tentang filsafat secara menyeluruh, lulusan Magister Filsafat Islam ICAS-Paramadina, Jakarta ini mengulas filsafat ibarat kata bijak, “Dari Barat timbul cahaya, dari Timur timbul kebijaksanaan.” Ramli Cibro, pemuda yang memiliki kemampuan berpikir lebih ini telah menelurkan beberapa karyanya seperti Aksiologi Ma’rifat Hamzah Fansury, Aceh Tapal Batas Syariat, Rekontruksi Pemikiran Kamaruzzaman Bustama Ahmad dan nuansa satire nan memancing tawa dalam bukunya Cara Menikmati Bakso Daging Dinosaurus.

Secara garis besar, dalam pandangan penulis, ketiganya (Zulfata, Miswari dan Ramli Cibro) memiliki sudut pandang yang berbeda, namun mereka memiliki sudut kesamaan dalam menata intelektualitas dengan berfokus kajian filsafat. Jika boleh berargumentasi liar, ketiganya menjadikan KBA sebagai gurunya dalam berfilsafat, atau setidaknya pernah berdiskusi dan belajar langsung dari beliau.
Sebagai pertanda menuju pada peradaban maju, diskusi pemikiran seperti yang sedang hangat ini patut diapresiasi sebagai kemampuan berpikir generasi menyikapi segenap persoalan sosial keacehan dan nasional. 

Perbedaan dalam menafsirkan setiap polemik adalah kewajaran bukanlah permusuhan, fitrah manusia yang diciptakan berbeda sebagai Sunnatullah, dan ketepatan argumen dalam mengurai segala aspek pemikiran adalah varian pikir yang perlu dirawat dan tidak dihancurkan sebagai musuh, Aceh perlu narasi dari sejak pikiran hingga pada tahap penerapan (aksi). Sejatinya varian pikir adalah kawan diskusi dalam upaya menajamkan kekritisan untuk merubah keadaan (Aceh) menuju pada kemajuan.

Tiroisme Vs Agapolisme

Menjelang dan setelah diskusi daring “Meninjau Ulang Acehnologi,” jagat media sosial (Facebook) menjadi memanas, saling ‘sapa’ antara Haekal Afifa (Ketua Institut Peradaban Aceh dan Pegiat di Hasan Tiro Center) atau lazim dikenal sebagai Tiroisme yang mengacu pada kajian serius dan mendalam setiap pikiran dan tindakan dari Almarhum Paduka Yang Mulia Wali Negara Tgk. Hasan Muhammad di Tiro, sosok deklarator Gerakan Aceh Merdeka (4 Desember 1976), dengan Zulfata Alghazali (Direktur Sekolah Kita Menulis, Sekretaris Umum Badko HMI Aceh) lebih dikenal dengan Zulfata Agapolisme (Agapolisme; mazhab berpikir yang dicetusnya yang memadupadankan antara Agama dan Politik dalam setiap sendi sosial bermasyarakat, Agapol adalah buku karyanya yang telah diterbitkan dari jilid 1 sampai 10).

Bagi penulis keduanya adalah cerminan sosok orang yang punya keluasan intelektual, dan kebijaksanaan, serta menjadi panutan baik bagi pemuda Aceh. Sebenarnya penulis tidak akan bertegur sapa atau mau mengenal jauh dan menjalin silaturrahmi dengan keduanya, jika bukan karena alasan kesamaan visi, pemikiran dan kecintaan terhadap literasi Aceh dan pergerakan. 

Sebagai generasi Aceh yang sempat mendengar dentuman bom dan desiran peluru yang silih berganti merenggut nyawa-nyawa, yatim piatu bergelimpangan tangisan darah, rumah warga, sekolah dan pusat keramaian mengepul bersama hitam pekatnya asap kekuasaan Jakarta yang menghujam tanah Aceh nan mulia. Pasca damai, setelah ditekennya MoU Helsinki (15 Agustus 2005), kerinduan dan kecintaan generasi Aceh terhadap Wali Negara baru bisa diluapkan dengan penuh emosional, tak jarang tulisan yang mengupas tentangnya menjadi incaran serius untuk penulis santap penuh nikmat dan hikmat.

Keaktifan menyusuri setiap buku dan tulisan tentang Aceh serta tentang Wali Negara, penulis tersudutkan di pojok keingintahuan mendalam, bermula dari bacaan Aceh di mata Dunia yang mengulas tentang martabat Bangsa Aceh yang diterjemahkan oleh salah satu alumni Ilmu Politik Universitas Indonesia, Haekal Afifa, rindu yang semakin dalam akhirnya mengantarkan pada penjajakan komunikasi via Facebook pada medio 2016, perjumpaan dengan sosok Haekal Afifa saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke 7 digelar di Banda Aceh, penulis menyambangi stand Hasan Tiro Center dan disaat bersamaan juga datang sosok Dr. Husaini Hasan (Mantan Sekretaris Negara, Menteri Pendidikan dan Penerangan Gerakan Aceh Merdeka), seperti biasanya pengunjung stand melihat semua dokumentasi sejarah panjang sosok Hasan Tiro yang terpampang gagah menyapa setiap tamu yang datang, terpampang beberapa buku tentang Hasn Tiro, dan membeli buku Hasan Tiro The Unfinished Story of Aceh yang disunting oleh Husaini Nurdin, ia pun menghadiahi karya  fenomenal terjemahannya Aceh di mata Dunia kepada penulis, kekaguman pun bertambah, betapa gigih dan giatnya ia mendokumentasikan koleksi keping sejarah Aceh ini, ucapan terima kasih pantas disematkan untuk pemuda pejuang ini, Haekal Afifa.

Demikian pula, perkenalan penulis dengan sosok Zulfata yang mengenyam dan menamatkan pendidikan sarjana dan magister pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat di UIN Arraniry, Banda Aceh, dan aktif berproses di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh. Perjumpaan penulis dengannya diawali setelah menyelesaikan amanah HMI Cabang Sigli menyelesaikan pelatihan di HMI Cabang Bogor pada medio 2016.
Berasal dari satu organisasi yang sama, sedikit termudahkan untuk menjalin komunikasi, hingga silaturrahmi menjadi kuat, seringkali setiap diskusi mengupas tentang para pemikir Islam terdahulu, termasuk pemikir dan pejuang Aceh tentang bagaimana generasi Aceh memberikan sumbangsih untuk peradaban Aceh sebagai salah satu bangsa beradab di dunia.

Perseteruan keduanya mengajak kita khususnya kalangan muda Aceh untuk mengkaji kembali makna perbedaan, dan ini bukanlah hal yang baru dalam tradisi intelektual. Sejarah Islam telah mencatat abadi pertarungan sengit antara Abu Hamid Al Ghazaly dengan Ibnu Rusyd Al Andalusy.

Tahafutul Falasifah, ditulis Al Ghazali untuk mencurahkan segala kritikannya terhadap ulama-ulama yang gandrung akan filsafat. Seakan gayung bersambut, Ibnu Rusyd Al Andalusy pun membalas dengan sangat ‘mencengangkan,’ Tahafutut Tahafut yang berarti kerancuan di atas kerancuan ditulis untuk membalas serangan Al Ghazali. Argumentasi keduanya dinilai sangat hebat dan generasi Islam mengerti betapa semangat untuk menghidupkan iklim akademik saat itu sangat baik.

Perbedaan pendapat antar ulama di Nusantara kerap terjadi, perbedaan tersebut dibangun berdasarkan nalar dan yurisprudensi yang kuat serta muatan etika (adab) dan kasih sayang,sehingga menghasilkan karya tulis yang masih bisa dikecapi oleh generasi kontemporer. Semisal perbedaan pendapat antara KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan Kiai Abdullah Bin Yasin Pasuruan dan beberapa ulama lainnya.

Adakalanya kita perlu membaca sikap negarawan seorang Mohammad Natsir yang dikenal santun, sederhana dan toleran, serta konsisten menempuh jalan demokrasi bersama koleganya di Partai Masyumi. Pasca kemerdekaan, dikenal sebagai masa sulit dalam merumuskan dasar negara, ideologi Islam, Nasionalis dan Komunis sangat kentara. Menurut penuturan Yusril Ihza Mahendra, Natsir sering tak bisa mengendalikan emosi ketika berdebat dengan D.N Aidit di Parlemen. “Pak Nasir bilang, rasanya dia ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi.” Hingga rapat usai tak ada kursi yang melayang, malah mereka berdiskusi dengan menikmati kopi, dan sering pula Natsir pulang rapat dengan boncengan sepeda oleh Aidit yang notabene Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia. Istilah yang paling populer dari Natsir menyikapi perbedaan adalah Sepakat untuk tidak sepakat.

Mendulang pikiran diantara Acehnologi, Tiroisme hingga Agapolisme adalah varian pikir yang perlu disikapi dengan sejuk dan damai, tanpa ada maksud diskriminasi hingga pada tataran pembunuhan karakter diantara pemikiran yang sedang berkembang tersebut. Sedianya kita menasehati diri untuk terus berargumentasi dengan penuh etika dan sejuk, seperti Imam Syafiie berujar pada Imam Abu Hanifah dalam menyikapi perbedaan, “Kita masih tetap bisa bersahabat, meski kita berbeda pendapat.”
Ketidaktepatan sikap dalam melihat perbedaan akan menghancurkan, ibarat pepatah “Menang jadi arang, kalah jadi debu.” Sejatinya kita perlu menatap serius, bukan bermaksud menghakimi atau mempertentangkan keduanya, silang pendapat antara Nuruddin Arraniry dengan Hamzah Al Fansury menjadi teladan yang harus kita sikapi dengan kebersamaan dan perbedaan (plural). Perbedaan pendapat dalam Islam mendapat porsi sebagai ikhtiar insan (‘aqal) dan Sunnatullah membuka tirai cakrawala (intelektual), melepas diri dari kejumudan.

Baik Tiroisme maupun Agapolisme, keduanya sebagai cerminan generasi yang diharapkan oleh Aceh kontemporer, memiliki kekhasan tersendiri dalam menatap dan mengargumentasi nalar progressif. Sejatinya narasi Aceh terus bersemi dan mekar bersama generasi, tak ada dominasi menafsir Aceh, tetapi kepentingan bersama untuk Aceh (Aceh Interrest). Wallahu’alam.

Penulis Ketua Umum HMI Cabang Sigli (2019-2020), Pegiat Literasi Peradaban Aceh.
×
Berita Terbaru Update