Notification

×

Iklan ok

Misi dan Dakwah (Kristen dan Islam)

Rabu, 03 November 2021 | 15.53 WIB Last Updated 2021-11-03T08:55:04Z

Oleh : Muhammad Ridha.

Prodi Sosiologi agama, UIN Ar-Raniry


Gemarnews.com, Opini Mahasiswa - “Semua Agama berhak mengembangkan ajarannya, tentu saja hal itu dilakukan dengan cara yang baik dan benar”. Begitulah kira kira ucapan dari seorang Pendeta Palti Panjaitan pada kesempatannya menjadi Pemateri dalam kegiatan Workshop LABPSA, pada Tanggal 09 September 2021. Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan ( LABPSA) menjadi wadah bagi pemuda pemuda lintas Agama untuk mengkampanyekan isu Toleransi Agama. Sebagai sebuah negara yang diisi oleh orang orang yang berbeda agama, Indonesia sering sekali diterpa isu tentang persoalan yang tiada habis habis habisnya soal Intoleransi Agama, bahkan sampai terjadi konflik yang memakan korban jiwa.


Ungkapan yang dikeluarkan oleh Pendeta Palti menjawab pertanyaan tentang ketakutan pada masyarakat Muslim di Aceh dan umumnya di Indonesia sebagai mayoritas penduduknya adalah Islam. Istliah Kristenisasi menjadi sebuah ketakutan tersendiri bagi masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya di Aceh. Pada dasarnya istilah tersebut lahir sebagai upaya untuk menjaga konsistensi masyarakat pada satu agama saja, atau menjauhkan pada hal pendangkalan Aqidah. Namun anggapan masyarakat Aceh umumnya, terbilang sangat berlebihan menanggapi isu tentang kristenisasi, seakan akan hal tersebut menjadi momok yang sangat menakutkan dan membuat kesesatan.


“Soal Kristenisasi yang ada di Aceh saya rasa itu sangat berlebihan“, lanjut Pendeta Palti  saat itu.  Hal tersebut bisa kiranya dipahami oleh orang muslim, bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan agama. Kesalahan dalam menafirkan kristenisasi, dapat menjauhkan orang orang dari sikap toleransi. Meskipun Indonesia sebagai sebuah negara yang dengan mayoritas penduduk muslim, bukan berarti pemeluk agama lain tidak bisa berkembang. Orang Kristen menjalankan Misinya untuk memperluas ajarannya, begitu pula orang Islam menjalankan Dakwah keislamannya. 


Meskipun dipenuhi dengan Budaya, Adat, Sosial, Ekonomi, dan Politik dibalut dalam ‘Syariah’, Aceh masih dikenal sebagai Daerah yang toleransi. Kehidupan dan keharmonisan  masyarakat masih terlihat dari luar. Namun terdapat kejanggalan dari sebagian masyarakat bahkan orang yang berpendidikan tinggi, tentang isu Kristenisasi atau pendangkalan Aqidah. Sikap yang diambil pun berbeda beda, mulai dari kecurigaan yang mendalam, bahkan terdapat Fatwa Ulama yang mempersempit ruang kehidupan orang orang non muslim dalam mencari tempat tinggalnya di Aceh.


Aceh memiliki keistimewaan tersendiri pada Sosial budaya masyarakat. Dengan keislaman yang kental pada praktiknya, nuansa islam pun terlihat jelas oleh dunia. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), mengeluarkan fatwa dari pertimbanganan soal kericuhan pada isu Kristenisasi. Fatwa MPU nomor 08 tahun 2015 tentang Hak Langgeih, dengan Tegas dalam 5 poin disebutkan melarang keras untuk menjual dan menyewa Properti pada non muslim. Bahkan memberlakukan kewajiban pada masyarakat untuk tidak menjual dan menyewa property mereka kepada non muslim. Fatwa tersebut dikeluarkan dalam upaya ‘menjauhkan’ masyarakat dari pendangkalan aqidah dan juga mempertahankan adat dan budaya masyarakat Aceh.


Pada tahun 2015, konflik di Aceh Singkil mencuat. Konflik itu sudah berlangsung lama, bahkan sudah beberapa kali terjadi upaya pembakaran gereja. Kehadiran gereja di Aceh Singkil, dianggap sebagai gangguan oleh sebagian masyarakat muslim disana, sehingga gesekan antar umat beragama tidak mampu dibendung saat itu. Hal ini berhubungan dengan adanya isu kristenisasi pada masyarakat. Pembakaran Gereja yang sudah diupayakan beberapa kali sejak tahun 1995. Padahal umat Kristen disana sudah terbilang banyak, gereja didirikan sebagai rumah ibadah bagi mereka. Namun kegelisahan karena kesalahpahaman terhadap isu kristenisasi yang menerpa masyarakat, konflik pun sulit untuk terbendung. Hal ini yang menajadikan landasan utama MPU dalam mengeluarkan Fatwa tersebut. 


Ketakutan pada agama lain, seakan akan hadirnya agama selain islam dan berteman dengan mereka mampu melunturkan keyakinan dalam  beragama. Hal itu menjadi landasan utama karena kurangnya rasa kebersamaan dalam perbedaan agama. Aceh memiliki syariat islam sebagai sistem dan hukumnya, dan Aceh diisi dengan Ulama ulama yang hebat soal keislamannya. Lantas mengapa takut soal pendangkalan aqidah, jika masyarakat muslim di Aceh kuat soal keyakinannya dalam beragama islam. 


Sehat Ihsan Shadiqin sebagai seorang Dosen di Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-raniry, sekaligus pendiri dari komunitas LABPSA. Beliau di kelasnya sering mempertanyakan kepada Mahasiswa soal ketakutan masyarakat terhadap isu kristenisasi. “Kenapa kita takut bertemu dengan orang orang non muslim, seakan akan jika bertemu dan mendekati rumah ibadah mereka kita langsung berpindah agama”, ucap pak sehat saat di kelas mata kuliahnya. Dogma pada masyarakat tentang bahaya kristenisasi, menjadikan masyarakat terus merasa was was pada keberadaan orang non muslim, meskipun demikian sikap toleransi seperti berbicara dan berteman serta berkumpul dalam lintas agama masih terlihat baik baik saja, dan lebih baik jika mereka paham tentang isu kristenisasi yang sebenarnya.


Kristenisasi dalam agama Kristen dan islamisasi dalam agama islam, adalah tujuan mulia dari pemeluk kedua agama tersebut. Metode yang dilakukan dalam upaya mengajak orang orang untuk beragama islam atau kristen, dilakukan dengan berbagai macam cara. Mulai dari ekonomi, sosial, Pendidikan, kesehatan dan budaya, dimana semua itu sangat berpengaruh dalam upaya misi atau dakwah mereka. Namun demikian di Indonesia umumnya sering diterpa isu yang menyudurkan agama kristen dalam narasinya, seakan akan agama tersebut melanggar ketentuan yang berlaku, padahal negara Indonesia adalah negara yang bersistem Demokrasi, dan terdapat Agama agama yang sudah disahkan keberadaannya.


Munculnya istilah Toleransi bukan hanya sekedar mengkampanyekan perdamaian yang terlihat di permukaan saja. Agama bukan suatu alat memerangi agama lain lewat narasi yang menyudutkan. Agama mempunyai tujuan yang mulia bagi setiap pemeluknya, dan salah satu tujuan mulia agama adalah menyebarluaskan ajarannya dan keyakinannya. Otoritas suatu agama dalam suatu negara, dapat memonopolikan kehidupan masyarakat hanya dalam satu agama yang berkuasa. Tujuan mulia agama akan terlihat salah, jika agama tersebut adalah minoritas, terlebih jika otoritas agama yang mayoritas  berkuasa.


Kebudayaan orang Aceh yang sangat indentik dengan Budaya islam, dan juga sistem syariat islam yang sudah melekat di dalam tubuh masyarakat Aceh, seharusnya hal yang sangat penting bagi masyarakat adalah mendalami agama islam seutuhnya, serta memperkuat Aqidah islam. Keberadaan orang orang non muslim juga terbilang banyak, kemudian keberadaan mereka di Aceh tidak mengganggu ketentraman masyarakat dan budaya Aceh. Toleransi di Aceh sedang berjalan cukup baik, walaupun keberadaan tempat ibadah berbagai agama hanya terlihat di kota kota besar saja, sedangkan keberadaan orang orang non muslim sudah tersebar di berbagai tempat di Aceh. 


Toleransi di Aceh sering dibangga banggakan sebagai pedoman di daerah lain. Walaupun Aceh dikenal dengan syariat islamnya, Aceh masih menerima keberadaan non muslim, dan juga bersikap baik dengan mereka. Hanya saja hal yang perlu diperbaiki dari diri setiap muslim khususnya orang Aceh adalah memperdalam tentang keyakinan agamanya, serta memperkuat kebudayaan yang ada, bukan mencurigai atau menghalangi Agama lain untuk mengembangkan dan membawa ajarannya. Hal tersebut dapat mengurangi konflik antar agama, serta dapat menumbuhkan rasa persaudaraan tanpa kecurigaan. (*)

 

×
Berita Terbaru Update