Notification

×

Iklan ok

SALING BERDAMPINGAN: ADA PERAYAAN IMLEK DI ACEH!

Senin, 14 Februari 2022 | 13.43 WIB Last Updated 2022-02-14T06:54:20Z
detik.com
Oleh: Fathayatul Husna 

Gemarnews.com, Opini - 1Februari 2022 menjadi hari spesial dan hari penting bagi umat Tionghoa. Setiap masyarakat keturunan Tionghoa akan memperingati hari Imlek. Imlek merupakan tahun baru China yang secara harfiah diyakini telah ada jauh sebelum adanya Tahun Masehi. Kisaran ini diperkirakan tepat pada 1600-1046 sebelum masehi pada zaman Dinasti Shang. Pada upacara ini dilakukan ritual upacara untuk mengenang dan menghormati para dewa dan leluhur setiap awal tahun barunya. 

Konon, upacara ritual Imlek semakin meriah di masa Dinasti Han. Khususnya, ketika berada di bawah kepemimpinan Dinasti Wi dan Jin upacara ritual tahun baru Imlek disemarakkan dengan kegiatan gotong royong untuk membersihkan rumah, makan bersama dan juga dipenuhi dengan kegiatan yang menghibur. Selain kemeriahan ini, juga tidak lupa turut mentradisikan pembagian hadiah kepada anggota keluarga, sanak saudara dan juga kepada masyarakat sekitar. Kemeriahan dan kemakmuran ekonomi semakin hadir ketika di masa Dinasti Tang. Kemakmuran ekonomi di masa ini turut dirasakan oleh setiap warganya. 

Setiap warga Tionghoa melakukan sembahyang ke Vihara. Semakin larut malam maka semakin ramai jema’at berdatangan. Mereka juga tidak lupa untuk membakar dupa dan memanjatkan doa-doa dengan penuh harap dan khusyuk. Kemudian, ketiak asap hio (dupa Tionghoa), maka aromanya akan semakin semerbak hingga memenuhi sudut Vihara. Seketika, tepat pukul 00.00 seseorang akan memukul gong dan membunyikan lonceng yang berarti bahwa tahun baru Imlek baru saja dimulai. Vihara tidak hanya dipenuhi oleh warga keturunan Tionghoa, tetapi juga warga dan masyarakat setempat. Setiap warga akan merasa tertarik dan penasaran dengan keberlangsungan acara tahun baru Imlek ini. 

Melihat kilas balik sejarah tahun baru Imlek, setiap anggota masyarakat keturunan Tionghoa di berbagai daerah di Indonesia turut memperingatinya dengan khidmat. Salah satu daerah yang dihuni oleh keturunan Tionghoa adalah Aceh. Secara spesifik, Aceh memang dilegalkan dengan otonomi khusus sebagai daerah yang memegang aturan dan ajaran Islam yang sangat kental. Di samping itu, Aceh juga dikenal dengan daerah yang mengutamakan adat istiadat dan budaya keisalmannnya. Namun, hal ini tidak berarti semua penduduknya harus berkeyakinan agama Islam. Aceh juga memberikan ruang kepada pemeluk agama lain dan masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda untuk dapat menempati daerah ini. Setiap daerah di Aceh tampak saling bersinergi dan memberikan ruang kepada agama lain untuk mendirikan rumah ibadah. Hal ini menjadi salah satu kunci bahwa Aceh juga memegang tradisi saling menghormati dan saling menghargai. Selanjutnya disebut sebagai praktik toleransi. 

Tahun baru Imlek di Aceh berlangsung aman dan tertib. Beberapa Vihara di Aceh kerap mendapatkan penjagaan yang ketat oleh para aparat kepolisian. Di samping itu, prosesi ibadah ini juga turut dijaga oleh warga sekitar yang berbeda keyakinan. Misalnya, upacara ritual yang dilakukan di Vihara Tirta Buddha di Lhokseumawe dapat dijadikan sebagai salah satu potret keberlangsungan toleransi. Ketika upacara ritual dilakukan, para pemuda di sekitar lokasi turut menjaga keamanan dan ketertiban upacara ritual tersebut. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Lhokseumawe juga dikenal dengan icon daerah yang telah menerapkan toleransi dengan baik. Oleh karena itu, daerah ini patut untuk dijuluki sebagai salah satu kota toleran di Aceh. 

Selain di Lhokseumawe, perayaan tahun baru Imlek juga berlangsung khidmat dan damai di daerah Peunanyong, Banda Aceh. Sebagai sentral Aceh, Banda Aceh juga memberikan potret suasana perayaan tahun baru Imlek. Contohnya, Vihara Dharma Bakti mengadakan sembahyang saat Tahun Baru Imlek. Meskipun proses sembahyang tidak bisa seutuhnya dilakukan berjama’ah, prosesi ritual ini dilakukan penuh khidmat. Sama seperti di Kota Lhokseumae, prosesi ibadah ini juga dijaga ketat oleh aparat kepolisian dan warga setempat agar acara berlangsung dengan aman dan penuh damai. Perayaan ini djuga turut dilakukan oleh pemeluk agama Buddha dan warga Tionghoa di Meulaboh, Aceh Barat. Mereka merayakan tahun baru imlek di Meulaboh dan berlangsuung damai. Penulis turut menyaksikan warga Tionghoa membagikan angpao (hadiah berupa uang) kepada pejalan kaki dan masyarakat sekitar. Hal ini juga telah menjadi tradisi bagi warga keturunan Tionghoa sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang telah mereka dapatkan.

Tidak hanya warga keturunan Tionghoa saja, warga Aceh juga semakin penasaran dengan proses perayaan tahun baru Imlek. Beberapa pejalan kaki dan warga sekitar yang beragama muslim juga berdatangan dan merekam setiap kegiatan dengan penuh antusias. Bahkan, para jema’at tidak melarang siapapun yang datang untuk merekam setiap acara perayaan dengan smartphone. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengenalan kepada warga sekitar bahwa perayaan tahun baru Imlek boleh dilihat dan dirasakan oleh warga sekitar, meskipun mereka adalah non-muslim. Selain itu juga sebagai bukti bahwa Aceh tidak memperlakukan berbeda kepada warganya yang beragama non-Islam. Mereka justru diberikan tempat dan ruang yang sangat kondusif agar dapat melaksanakan ibadah dengan penuh khidmat. 

Melihat perayaan tahun baru Imlek di Aceh, seperti warga Aceh telah menerap praktik toleransi. Proses menghargai dan menghormati telah dijalankan dengan penuh suka cita dan haru. Mereka ikut memberikan kebebasan kepada warga pemeluk keyakinan lain untuk menyelenggarakan prosesi ibadah sesuai dengan keyakinan mereka yakini. Di samping itu, warga Aceh yang mayoritas memeluk agama Islam turut saling membangun solidaritas dengan pemeluk agam lainnya. Salah satu daerah di Meulaboh, tepatnya di desa Panggong, kehidupan masyarakat antar pemeluk agama saling hidup rukun. Bahkan, mereka terbiasa untuk saling bercengkrama dan gotong royong. Kehidupan masyarakat non-muslim di Aceh juga merasakan kenyamanan saat berada di Aceh. 


Berbeda dengan fakta yang terjadi di Aceh, masih banyak orang di laur Aceh mengira bahwa Aceh sangat tidak mengindahkan praktik toleransi. Bahkan, ada yang mengatakan Aceh adalah provinsi yang tidak toleran dengan pemeluk agama lain. Nyatanya, praktik toleransi telah berjalan dengan baik di Aceh, baik di kalangan dewasa, remaja dan anak-anak. 

Penulis adalah pegiat media sosial yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu keberagaman di Aceh. Oleh karena itu, penulis tertarik menulis tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA). Penulis dapat dihubungi melalui kontak fathayatulhusna@gmail.com.
×
Berita Terbaru Update