Notification

×

Hilangnya Rasa Bangga terhadap Bahasa Daerah : Apakah dilanda kepunahan?

Minggu, 25 Mei 2025 | 15.45 WIB Last Updated 2025-05-25T08:45:38Z
Dok. foto Penulis : Cut Oriza Satifa


Gemarnews.com, Opini -  Saat bahasa ibu mulai terlupakan, apakah kita sedang menggali kubur untuk identitas kita sendiri? Di era pengaruhnya globalisasi, mahasiswa sebagai calon intelektual bangsa seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan bahasa daerah. Tapi apa benar mereka peduli? Ataukah bahasa daerah Aceh hanya menjadi sejarah dalam buku pelajaran yang tak lagi dibaca? Pergeseran bahasa daerah Aceh di lingkup generasi muda menjadi sebuah isu yang sangat mengkhawatirkan. 

Sebagai mahasiswa fastrack Magister Pendidikan Bahasa Indonesia penulis menyampaikan bahwa “karena pengaruhnya budaya asing ke Aceh menyebabkan Gen Z malu untuk menerapkan bahasa Aceh.” Hal ini mencerminkan bahwa globalisasi dan dominasi budaya luar secara perlahan menyingkirkan rasa bangga pada bahasa daerah sendiri.

 Lebih lagi, ia menegaskan bahwa “kalau bahasa Aceh punah bisa menghilangkan identitas mereka sebagai warga negara asli.” Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai symbol identitas suatu masyarakat. Seperti penyampaiannya, “ketika kita berada di tempat lain, orang lain tidak bisa mengenal kalau kita masyarakat Aceh, karena bahasa sebagai symbol.” 

Akan tetapi, upaya pelestarian baasa Aceh msih menghadapi tantangan, salah satunya perbedaan antara bahasa formal yang diajarkan di sekolah dan bahasa informal yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. “Ketika saya di SD dulu, bahasa Aceh yang saya pelajari sulit dipahami karena bahasa formal,” tambahnya. 

Dengan ini   memberikan solusi praktis yaitu “kalau kita merasa belum mahir berbahasa Aceh, kita dapat belajar lagi dengan lingkungan yang dominan yang menggunakan bahasa Aceh atau dapat membaca buku kosakata bahasa Aceh.” Solusi ini dapat menjadi alarm pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif untuk melindungi keberlangsungan bahasa Aceh agar tidak punah ditelan oleh zaman.

 Pergeseran bahasa daerah Aceh juga dipengaruhi oleh kebutuhan interaksi antar daerah yang mengutamakan bahasa Indonesia. 

 “karena kebutuhan masyarakat, misalnya orang Gayo merantau ke Banda Aceh, terus orang Banda Aceh banyak orang-orang di daerah yang berbeda. 

Jadi orang-orang dominan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.” Peristiwa ini tidak bisa dihindari di tengah variasi masyarakat, tetapi melahirkan keprihatinan. Ia menilai bahwa siatuasi ini “sangat menyedihkan dan disayangkan, karena bahasa Aceh itu merupakan symbol identitas seseorang.” Sebagai bagian dari budaya, Bahasa Aceh memegang peranan penting yang harus dilindungi dan dilestarikan. 

Sesuai dengan pendapatnya, “bahasa Aceh itu merupakan salah satu budaya yang harus dilestarikan.” Sayangnya, pelajaran bahasa Aceh di sekolah tidak memperoleh perhatian yang maksimal. 

,“belajar bahasa Acehnya sangat minim, karena banyak gurunya fokus pada mata pelajaran yang lain. Mereka tidak terlalu excited kali karena sering diremehkan.” Untuk menghindari kepunahan, ia menyarankan agar masyarakat tidak malu menggunakan bahasa Aceh dan memperbanyak event lomba berbahasa Aceh.

 “Tidak malu berbahasa Aceh, terus di setiap perlombaan yang ada bahasa Acehnya jadi bisa tidak punah karena diwajibkan,” tambahnya. Perilaku seperti ini menjadi langkah awal yang penting dalam melindungi eksistensi bahasa Aceh di tengah modernisasi.
 Peristiwa pergeseran bahasa aceh di lingkup masyarakat, spesifiknya generasi muda, semakin terasa di daerah perkotaan seperti Banda Aceh.

“karena jarang dipraktikkan, seperti Banda Aceh, sesama orang Aceh sering menggunakan bahasa Indonesia karena pengaruh kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia.” Ia sangat ikut prihatin dengan situasi ini, karena bahasa Aceh merupakan bagian dari warisan budaya yang penting untuk dikuasai. 

Bahasa Aceh mempunyai nilai yang sangat esensial sebagai identitas budaya yang tidak bisa hilang. Dilihat dari pengalamannya mengajar di tingkat menengah atas, ia menyatakan bahwa pelajaran bahasa daerah kini hanya terdapat pada jenjang sekolah dasar. Oleh sebab itu, ia menyarakan supaya bahasa Aceh kembali ditetapkan di tingkat menangah dan atas, supaya siswa yang mempunyai potensi bisa belajar dan dapat mempraktikkannya kembali.

Bahasa Aceh kini mulai ditinggalkan karena orang tua jarang mengajarkanmya kepada anak sejak kecil. Ia mengungkapkan, “sepengetahuan saya, orang tua sudah jarang mengajarkan anaknya bahasa Aceh, sehingga bahasa Aceh sudah tidak lagi menjadi bahasa ibu." Ia juga menilai generasi sekarang sudah terpengaruh budaya luar hingga "lama-kelamaan bahasa Aceh akan menjadi asing dalam ranah generasi yang akan datang."

Bahasa daerah sangat penting sebagai symbol budaya. "Kalau tidak ada bahasa daerah, maka tidak ada keistimewaan daerah masing-masing dan akan sulit dikenal." Ia juga ikut prihatin pada minimnya pelestarian bahasa di lingkup muda, bahkan untuk bahasa Indonesia baku pun sudah tidak efektif lagi. Oleh sebab itu, "setiap orang tua harus mengajarkan bahasa daerah kepada anaknya sejak kecil," termasuk melalui sekolah dan lembaga pendidikan seperti TPA.

Menurut Yana Febriana ,Pergeseran bahasa Aceh terjadi karena berbagai factor seperti generasi, digitasasi, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya bahasa daerah. Ia mengungkapkan bahwa penyebab utama sebenarnya berasal dari individu itu sendiri. "Ada anak yang nggak mau berbahasa Aceh, itu bukan karena dia nggak bisa, tapi karena tidak terbiasa dengan budaya bahasa Aceh tersebut," jelasnya. Ia yakin bahwa bahasa Aceh memang sedang mengalami pergeseran. "Kalau kita lihat dari fenomena pergeseran, pasti bahasa Aceh mengalami pergeseran, karena anak-anak Gen Z, milenial, alpha, mereka tidak teredukasi menggunakan bahasa Aceh. 

Bahwa bahasa adalah representasi diri dan budaya. "Bahasa itu representasi diri sendiri, bahasa itu tidak terlepas dari masyarakat dan budaya. Makanya kalau bahasa Aceh hilang, budayanya juga ikut hilang." Baginya, jika individu tidak bisa berbahasa Aceh, setidaknya orang tua bisa mengupayakan les bahasa Aceh untuk anaknya. Di lingkup sekolah tempatnya mengajar, ia menilai pelestarian bahasa Aceh cukup baik melalui program Seudati (sehari berbahasa Aceh). "Bahasa Aceh di sekolah tempat ngajar saya sangat baik, karena guru-guru sangat suportif dengan program tersebut," walaupun diakui beberapa guru yang tidak bisa berbahasa Aceh karena bukan bahasa ibu mereka.

Sebagai mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, ia sadar pentingnya peran akademisi untuk mengkaji fenomena ini. "Makanya mahasiswa magister yang diwajibkan meneliti, mungkin salah satu upayanya itu tadi, kesadaran kita terhadap kehilangan bahasa Aceh bisa kita teliti," tambahnya. Ia menutup dengan persepsi bahwa "hal yang paling penting itu kesadaran diri dulu, bangun persepsi kita bahwa bahasa Aceh itu penting. Dan dengan menulis, kita bisa menyadarkan orang lain." Dengan demikian, pengaruh pergerakan yang diberikan oleh mahasiwa sangat berdampak besar bagi pemertahanan bahasa daerah.

Penulis : Cut Oriza Satifa 
Kuliah Universitas : Universitas Syiah Kuala     
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan 
Jurusan : Magister Pendidikan Bahasa Indonesia 
Gampong : Blang Uyok
Kecamatan : Julok
Kabupaten : Aceh Timur

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update