Dok. foto Penulis : Erlinda
Banyak orang tua memilih menggunakan bahasa Indonesia di rumah agar anak-anak lebih mudah mengikuti pelajaran di sekolah. Keputusan ini bersifat pragmatis dan didasari oleh kebutuhan dunia pendidikan, namun menyebabkan anak-anak memiliki bahasa ibu atau bahasa pertama yang bukan bahasa daerah.
Fenomena ini menyebabkan bahasa Aceh mulai terpinggirkan di kalangan generasi muda yang lebih akrab dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing dibandingkan bahasa Aceh sebagai warisan leluhur mereka. Fungsi bahasa Aceh sebagai alat komunikasi sehari-hari di lingkungan keluarga pun semakin berkurang, sehingga kelangsungan bahasa tersebut menjadi terancam.
Pernyataan ini juga didukung oleh hasil wawancara dengan beberapa narasumber. Salah satu narasumber, seorang mahasiswa pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, mengungkapkan bahwa ia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama di rumah agar anak-anaknya dapat lebih mudah mengikuti pelajaran di sekolah.
Ia meyakini bahwa anak-anak tetap bisa belajar bahasa Aceh secara alami dari lingkungan sekitar. Meskipun menyadari pentingnya pelestarian bahasa daerah, pertimbangan praktis dunia pendidikan membuatnya memprioritaskan bahasa nasional.
Namun, narasumber lain memberikan pandangan berbeda. Ia mengingatkan bahwa kebiasaan seperti ini turut berkontribusi pada menurunnya penggunaan bahasa Aceh di kalangan generasi muda. Ia menceritakan pengalamannya, di mana bahasa Aceh bukanlah bahasa ibu baginya, sehingga ia mempelajari bahasa tersebut secara tidak langsung dari lingkungan sekitar.
Kasus seperti ini juga umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari: banyak remaja yang memahami bahasa Aceh, tetapi dalam komunikasi dua arah mereka cenderung memilih menjawab dengan bahasa Indonesia karena merasa kesulitan menggunakan bahasa Aceh. Alasannya pun beragam, mulai dari ketidakpastian dalam penggunaan kosakata hingga rasa malu karena logat atau intonasi mereka terdengar asing.
Akhirnya, mereka hanya sebatas memahami bahasa Aceh, tetapi tidak menggunakannya secara aktif. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan bahasa Aceh semakin terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menghadapi tantangan pelestarian bahasa Aceh di tengah perkembangan zaman dan kebutuhan pendidikan, diperlukan kesadaran bersama dari semua pihak orang tua, pendidik, dan Masyarakat untuk menemukan cara terbaik menjaga kelestarian bahasa daerah tanpa mengabaikan pentingnya penguasaan bahasa nasional dan internasional.
Penggunaan bahasa Aceh di lingkungan keluarga dan komunitas sebaiknya tetap didorong agar anak-anak tumbuh dengan identitas budaya yang kuat, sekaligus mampu menguasai bahasa Indonesia dan bahasa asing sebagai alat komunikasi yang lebih luas.
Dengan sikap terbuka dan langkah yang tepat, warisan budaya ini dapat tetap hidup dan berkembang seiring waktu tanpa mengesampingkan kebutuhan praktis dunia pendidikan dan kehidupan modern.
Salah satu solusi efektif yang dapat diterapkan adalah dengan menerapkan pola bilingual di rumah. Misalnya, satu orang tua selalu menggunakan bahasa Aceh, sementara yang lainnya menggunakan bahasa Indonesia. Dengan cara ini, anak dapat secara jelas mengasosiasikan masing-masing bahasa dengan satu figur orang tua, sehingga memudahkan proses pembelajaran dua bahasa secara baik.
Untuk menjaga kelestarian bahasa Aceh sekaligus memenuhi kebutuhan pendidikan nasional, diperlukan kesadaran bersama dan strategi penggunaan bahasa yang tepat di rumah, seperti penerapan pola bilingual. Dengan demikian, anak-anak dapat tumbuh dengan identitas budaya yang kuat, sekaligus mampu menguasai bahasa nasional dan bahasa asing, sehingga warisan budaya bahasa Aceh tetap terjaga dan berkembang di tengah kemajuan zaman.
Penulis : Erlinda
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Syiah Kuala