Notification

×

90 Tahun Buya Syafii. Menghidupkan Kesetaraan melalui Dialog Interaktif

Minggu, 01 Juni 2025 | 21.40 WIB Last Updated 2025-06-01T14:45:59Z

GEMARNEWS.COM, BANTUL – Dalam rangka memperingati 90 tahun Buya Ahmad Syafii Maarif, Anakpanah.id bersama MAARIF Institute dan SaRanG menyelenggarakan Dialog Interaktif bertajuk pada Sabtu (31/5/25) di SaRanG Art Space.

Kegiatan ini mengangkat topik terkait pemikiran dan keteladanan Buya dalam isu kesetaraan gender dan dihadiri berbagai kalangan masyarakat.

Yahya Fathurrozi dari MAARIF Institute dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh komunitas yang ikut menjaga semangat Buya.

 “Ada 15 komunitas yang tercatat mengikuti jejak pemikiran Buya Syafii, termasuk lima komunitas di Yogyakarta. Di NTB ada Rumah Singgah Buya yang fokus menampung ibu hamil, dan di Manado terdapat Madrasah Intelektual Syafii Maarif. Semua ini adalah bentuk nyata cinta dan kelanjutan perjuangan beliau,” tuturnya.

Sementara itu, Erik Tauvani Somae dari Anakpanah.id menyampaikan terima kasih atas dukungan berbagai pihak, terutama SaRanG yang menyediakan ruang. Ia juga menggarisbawahi keteladanan Buya dalam kehidupan sehari-hari. 

“Pandangan Buya tentang kesetaraan gender tidak hanya tertulis, tetapi hidup dalam keseharian. Beliau mencuci, belanja, bahkan memasak sendiri. Tidak ada sekat peran antara laki-laki dan perempuan di rumah tangga Buya. Semuanya sangat negosiatif, sangat manusiawi,” jelasnya.

Diskusi utama ini menghadirkan dua narasumber: Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, putri pertama Gus Dur dan Ketua Jaringan Gusdurian, serta Alimatul Qibtiyah, Guru Besar Bidang Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga.

Dalam paparannya, Alissa Wahid menekankan kesamaan prinsip antara Gus Dur dan Buya Syafii. “Buya pernah berkata, kalau tidak kenal Gus Dur, saya bisa jadi radikal," katanya.

Keduanya memulai dari pemahaman keislaman yang suprematif, namun berkembang ke arah pemikiran yang lebih adil dan berparadigma kemanusiaan. 

"Baik Gus Dur maupun Buya menempatkan prinsip sebagai pusat sikap, bukan posisi atau afiliasi politik,” ujarnya. Menurut Alissa, Buya adalah sosok _principal center_ yang konsisten antara pikiran, tindakan, dan ucapan.

Senada dengan itu, Alimatul Qibtiyah mengisahkan bagaimana Buya mendorongnya untuk tetap aktif dalam 'Aisyiyah, meski menghadapi tantangan. 

“Buya adalah orang yang mendorong saya masuk Komnas Perempuan. Ia mengajarkan bahwa Islam harus fungsional, bukan hanya simbolik. Dalam konteks rumah tangga, Buya juga menjadi contoh suami ideal, terlibat dalam urusan domestik, reproduksi, dan memberi ruang setara,” ungkapnya.

Alim juga menyoroti pentingnya membedakan antara ajaran Islam dan budaya patriarkal yang selama ini disalahpahami. “Banyak perempuan direnggut haknya dengan dalil agama yang tidak dipahami secara tepat. Islam harus kembali kepada nilai Al-Quran, bukan budaya Arab semata,” tegasnya.

Menutup sesi, Alim menyampaikan refleksi penting tentang keberanian memperjuangkan nilai. “Kita harus tampil beda, tapi tidak sekadar berbeda. Buya Syafii menginspirasi saya bahwa tampil beda memang tidak mudah, tapi kita harus siap dengan segala konsekuensinya, selama yang kita sampaikan selaras dengan nilai-nilai kebenaran," jelasnya.

Menurutnya, kezaliman akan tumbuh subur bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena terlalu banyak orang baik yang memilih diam.

Sementara itu, Alissa mengajak generasi muda untuk merawat warisan pemikiran Buya. “Kita adalah generasi yang beruntung pernah bersentuhan dengan Buya, baik secara fisik maupun lewat tulisan. Buya adalah berlian Indonesia. Tugas kita menjaga, merawat, dan mengasahnya agar sinarnya terus menerangi bangsa,” pungkasnya. (Salma/red)

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update