Notification

×

Mendorong Keadilan Iklim Inklusif: Eco Bhinneka Muhammadiyah Gelar Diskusi Adaptasi dan Mitigasi bagi Kelompok Rentan

Selasa, 17 Juni 2025 | 14.09 WIB Last Updated 2025-06-17T07:09:43Z


 

GEMARNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rangka menyambut agenda Walk for Peace and Climate Justice, Eco Bhinneka Muhammadiyah menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim bagi Kelompok Rentan”, yang dilaksanakan secara daring pada Jumat, 13 Juni 2025. Kegiatan ini diikuti oleh 25 peserta yang berasal dari organisasi kepemudaan lintas iman serta komunitas penyandang disabilitas.

 

Diskusi ini merupakan bagian dari program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) yang diinisiasi Eco Bhinneka Muhammadiyah sebagai upaya memperkuat kapasitas pemuda lintas iman dalam mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

 

Dalam sambutannya, Fahmi Saiyfuddin, Focal Point SMILE Eco Bhinneka Muhammadiyah untuk Kawasan Daerah Khusus Jakarta, menjelaskan bahwa diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Walk for Peace and Climate Justice yang akan berlangsung sepanjang Juni hingga Juli 2025. “Rangkaian kegiatan kami terdiri dari dua diskusi daring, yaitu hari ini dengan tema Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim bagi Kelompok Rentan, serta minggu depan bertema Perempuan dan Tanah Air Kita. Selain itu akan ada satu kegiatan luring berupa sosialisasi dan interaksi langsung bersama komunitas difabel, dan ditutup dengan acara puncak Walk for Peace and Climate Justice,” ungkap Fahmi.

 

Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan ini adalah Eko Cahyono dari Sajogyo Institute dan Fajri Hidayatullah, Ketua Umum Himpunan Difabel Muhammadiyah (HIDIMU), dengan moderator Dinul Qoyimah, staf program SMILE Eco Bhinneka Muhammadiyah.

 

Dalam paparannya, Eko Cahyono menegaskan bahwa krisis iklim tidak berdampak secara setara pada semua kelompok masyarakat. “Kelompok rentan, seperti masyarakat adat, perempuan, penyandang disabilitas, lansia, dan warga miskin kota, merupakan yang paling terdampak. Sayangnya, mereka sering terpinggirkan dalam perumusan kebijakan perubahan iklim,” ujar Eko.

 

Ia juga menyoroti perlunya mengintegrasikan keadilan gender dan pendekatan interseksional dalam kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. “Sistem sosial kita masih patriarkis. Tanpa kesadaran terhadap kerentanan spesifik yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tertentu— masyarakat adat, orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan difabel —kebijakan akan terus melanggengkan ketimpangan,” tambahnya.

 

Eko menekankan bahwa prinsip Keadilan Iklim muncul dari kesadaran bahwa kelompok rentan memiliki risiko paling besar namun justru paling sedikit mendapatkan akses pada perlindungan hak-hak dasar mereka. Oleh karena itu, keadilan iklim juga menuntut tanggung jawab moral dan politik negara-negara maju untuk menurunkan emisi dan menghentikan perusakan lingkungan yang memperparah krisis global.

 

“Kita perlu menggali ulang kearifan lokal dan nilai-nilai luhur Nusantara sebagai fondasi dalam menghadapi krisis iklim—tanpa menciptakan krisis sosial-ekologis baru,” tutup Eko.


Sementara itu, Fajri Hidayatullah menekankan pentingnya inklusi dan aksesibilitas dalam semua inisiatif adaptasi iklim. “Keadilan iklim tidak akan tercapai jika penyandang disabilitas hanya dianggap sebagai objek program. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan,” tegas Fajri.

 

Ia juga memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam situasi bencana yang diperburuk oleh perubahan iklim, seperti keterbatasan akses terhadap informasi, jalur evakuasi, dan infrastruktur yang tidak ramah disabilitas.

 

“Dampak perubahan iklim bagi disabilitas bisa berkali lipat. Dalam kondisi bencana seperti longsor atau kebakaran, keterbatasan fisik dan akses membuat mereka semakin rentan,” ungkapnya.

Fajri menekankan bahwa pendekatan yang responsif terhadap keberagaman disabilitas sangat penting untuk memastikan keselamatan dan perlindungan kelompok ini dalam situasi darurat.

 

“Setiap orang berpotensi menjadi disabilitas kapan saja. Maka pendekatan kita terhadap keadilan iklim harus berangkat dari nilai kemanusiaan. Kita semua adalah penjaga bumi, dan tanggung jawab itu harus dijalankan bersama,” tutup Fajri.

 

Diskusi ini menjadi langkah penting dalam membangun kesadaran lintas iman dan lintas kelompok terhadap pentingnya keadilan iklim yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. (red)

 

Tentang Program SMILE Eco Bhinneka Muhammadiyah

 

Eco Bhinneka Muhammadiyah saat ini tengah melaksanakan program Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism (SMILE), yaitu inisiatif untuk memperkuat kepemimpinan kaum muda lintas iman dalam menghadapi perubahan iklim melalui pendekatan keadilan gender dan ekofeminisme. Program ini mendorong keterlibatan aktif generasi muda—terutama perempuan dan kelompok disabilitas—dalam membangun kesadaran, pengetahuan, dan aksi konkret dalam mencegah serta menghadapi krisis iklim. Salah satu pelaksanaan utama program ini berada di kawasan Daerah Khusus Jakarta. Kegiatan Eco Bhinneka Muhammadiyah dapat diikuti melalui website ecobhinnekamuhammadiyah.org dan Instagram @ecobhinneka.

 

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update