GEMARNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rangka menyambut agenda Walk for Peace and Climate Justice,
Eco Bhinneka Muhammadiyah menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Adaptasi
dan Mitigasi Perubahan Iklim bagi Kelompok Rentan”, yang dilaksanakan secara
daring pada Jumat, 13 Juni 2025. Kegiatan ini diikuti oleh 25 peserta yang
berasal dari organisasi kepemudaan lintas iman serta komunitas penyandang
disabilitas.
Diskusi ini merupakan bagian dari program SMILE (Strengthening Youth
Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) yang
diinisiasi Eco Bhinneka Muhammadiyah sebagai upaya memperkuat kapasitas pemuda
lintas iman dalam mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, keadilan sosial, dan
keberlanjutan lingkungan.
Dalam sambutannya, Fahmi Saiyfuddin, Focal Point SMILE Eco Bhinneka
Muhammadiyah untuk Kawasan Daerah Khusus Jakarta, menjelaskan bahwa diskusi ini
merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Walk for Peace and Climate Justice
yang akan berlangsung sepanjang Juni hingga Juli 2025. “Rangkaian kegiatan kami
terdiri dari dua diskusi daring, yaitu hari ini dengan tema Adaptasi dan
Mitigasi Perubahan Iklim bagi Kelompok Rentan, serta minggu depan bertema
Perempuan dan Tanah Air Kita. Selain itu akan ada satu kegiatan luring berupa
sosialisasi dan interaksi langsung bersama komunitas difabel, dan ditutup
dengan acara puncak Walk for Peace and Climate Justice,” ungkap Fahmi.
Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan ini adalah Eko Cahyono dari
Sajogyo Institute dan Fajri Hidayatullah, Ketua Umum Himpunan Difabel Muhammadiyah
(HIDIMU), dengan moderator Dinul Qoyimah, staf program SMILE Eco Bhinneka
Muhammadiyah.
Dalam paparannya, Eko Cahyono menegaskan bahwa krisis iklim tidak
berdampak secara setara pada semua kelompok masyarakat. “Kelompok rentan,
seperti masyarakat adat, perempuan, penyandang disabilitas, lansia, dan warga
miskin kota, merupakan yang paling terdampak. Sayangnya, mereka sering
terpinggirkan dalam perumusan kebijakan perubahan iklim,” ujar Eko.
Ia juga menyoroti perlunya mengintegrasikan keadilan gender dan
pendekatan interseksional dalam kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim. “Sistem sosial kita masih patriarkis. Tanpa kesadaran terhadap
kerentanan spesifik yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tertentu— masyarakat adat, orang
lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan difabel —kebijakan akan
terus melanggengkan ketimpangan,” tambahnya.
Eko menekankan bahwa prinsip Keadilan Iklim muncul dari kesadaran bahwa
kelompok rentan memiliki risiko paling besar namun justru paling sedikit
mendapatkan akses pada perlindungan hak-hak dasar mereka. Oleh karena itu,
keadilan iklim juga menuntut tanggung jawab moral dan politik negara-negara
maju untuk menurunkan emisi dan menghentikan perusakan lingkungan yang
memperparah krisis global.
“Kita perlu menggali ulang kearifan lokal dan nilai-nilai luhur
Nusantara sebagai fondasi dalam menghadapi krisis iklim—tanpa menciptakan
krisis sosial-ekologis baru,” tutup Eko.
Sementara itu, Fajri Hidayatullah menekankan pentingnya inklusi dan
aksesibilitas dalam semua inisiatif adaptasi iklim. “Keadilan iklim tidak akan
tercapai jika penyandang disabilitas hanya dianggap sebagai objek program.
Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan
kebijakan,” tegas Fajri.
Ia juga memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi penyandang
disabilitas dalam situasi bencana yang diperburuk oleh perubahan iklim, seperti
keterbatasan akses terhadap informasi, jalur evakuasi, dan infrastruktur yang
tidak ramah disabilitas.
“Dampak perubahan iklim bagi disabilitas bisa berkali lipat. Dalam
kondisi bencana seperti longsor atau kebakaran, keterbatasan fisik dan akses
membuat mereka semakin rentan,” ungkapnya.
Fajri menekankan bahwa pendekatan yang responsif terhadap keberagaman
disabilitas sangat penting untuk memastikan keselamatan dan perlindungan
kelompok ini dalam situasi darurat.
“Setiap orang berpotensi menjadi disabilitas kapan saja. Maka pendekatan
kita terhadap keadilan iklim harus berangkat dari nilai kemanusiaan. Kita semua
adalah penjaga bumi, dan tanggung jawab itu harus dijalankan bersama,” tutup
Fajri.
Diskusi ini menjadi langkah penting dalam membangun kesadaran lintas
iman dan lintas kelompok terhadap pentingnya keadilan iklim yang inklusif,
adil, dan berkelanjutan. (red)
Tentang
Program SMILE Eco Bhinneka Muhammadiyah
Eco Bhinneka
Muhammadiyah saat ini tengah melaksanakan program Strengthening Youth
Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism
(SMILE), yaitu inisiatif untuk memperkuat kepemimpinan kaum muda lintas iman
dalam menghadapi perubahan iklim melalui pendekatan keadilan gender dan
ekofeminisme. Program ini mendorong keterlibatan aktif generasi muda—terutama
perempuan dan kelompok disabilitas—dalam membangun kesadaran, pengetahuan, dan
aksi konkret dalam mencegah serta menghadapi krisis iklim. Salah satu
pelaksanaan utama program ini berada di kawasan Daerah Khusus Jakarta. Kegiatan
Eco Bhinneka Muhammadiyah dapat diikuti melalui website
ecobhinnekamuhammadiyah.org dan Instagram @ecobhinneka.