Notification

×

Saatnya Sekolah Membeli Buku Budaya Lokal

Kamis, 31 Juli 2025 | 16.23 WIB Last Updated 2025-07-31T09:23:46Z


Dok.foto Penulis : Muhammad Syawal Djamil


Gemarnews.com , Opini -  Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Pidie telah mengalokasikan anggaran miliaran rupiah untuk pengadaan buku pelajaran dan buku pendukung pembelajaran di sekolah-sekolah. Kebijakan ini diberitakan oleh sejumlah media lokal dan menjadi perhatian banyak kalangan, terutama para pemerhati pendidikan. Tentu, apresiasi patut diberikan atas langkah nyata ini, karena menunjukkan adanya kesungguhan pemerintah daerah dalam mendukung peningkatan kualitas pendidikan. 

Kebijakan ini, di satu sisi, mencerminkan komitmen Pemerintah Kabupaten Pidie dalam memperkuat sektor pendidikan, khususnya dalam hal ketersediaan bahan ajar yang memadai. Selain itu, ini merupakan langkah strategis yang layak dihargai, mengingat literasi adalah fondasi penting dalam peningkatan mutu pendidikan jangka panjang. Namun demikian, di sisi lain, pertanyaan mulai muncul di benak publik: buku seperti apa yang benar-benar dibutuhkan oleh siswa? Apakah cukup dengan buku pelajaran dari pemerintah pusat, atau justru sudah saatnya sekolah-sekolah juga dibekali buku yang merefleksikan nilai-nilai, cerita, dan jati diri lokal mereka sendiri?

Selama ini, mau diakui atau tidak, buku pelajaran dari pemerintah sudah disusun secara terpusat dengan standar nasional. Meski didukung oleh anggaran besar dan dikerjakan oleh tim profesional, kenyataannya masih sering ditemukan berbagai kekurangan, baik itu dari materi yang tidak kontekstual, miskin ilustrasi budaya lokal, hingga pendekatan belajar yang kaku. Hal ini diamini oleh para guru yang mengajar di level daerah.

Karena itu, guru dan sekolah banyak melengkapi pembelajaran mereka dengan buku referensi dan buku pengayaan lain dari hasil searching sendiri. Sebab buku-buku tersebut belum menjawab kebutuhan untuk menghidupkan semangat lokalitas dan membangun kecintaan siswa terhadap budayanya sendiri.

Degradasi Budaya Lokal Makin Terasa
Sementara itu, kini realitas yang tidak bisa ditampik, kita sedang menghadapi tantangan serius di tataran local daerah, yaitu degradasi budaya lokal yang makin terasa. Realitas ini menggambarkan situasi di mana nilai-nilai tradisional, cerita rakyat, sejarah daerah, dan ekspresi budaya mulai tersingkirkan dari kehidupan generasi muda. 

Penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 menjadi bukti konkret, di mana lebih dari 60% pelajar tidak mampu menyebutkan tokoh budaya lokal dari daerah mereka (kemdikbud.go.id). Hal ini menjadi indikasi kuat adanya degradasi budaya lokal yang semakin terasa. Keterputusan generasi muda dari akar budaya mereka dapat berdampak pada hilangnya identitas budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang penting.

Di Kabupaten Pidie sendiri, kekayaan literasi lokal sesungguhnya sangat melimpah. Tidak hanya buku budaya dan sejarah seperti Pidie yang Tidak Kalian Ketahui, Aksara Warna Pidie, dan Kupiah Meukutob: Warisan Raja di Raja, tetapi juga karya sastra kontemporer yang lahir dari tangan penulis-penulis Pidie, seperti buku kumpulan cerpen antologi sastra lainnya. Sayangnya, buku-buku tersebut hampir tidak ditemukan di perpustakaan sekolah maupun perpustakaan daerah. Kondisi ini tentu menunjukkan adanya ketimpangan perhatian terhadap karya literasi local, yang sesungguhnya memiliki daya dorong besar dalam membentuk karakter dan kepekaan kultural siswa.

Sudah saatnya para pemangku kepentingan di level daerah, dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, hingga orang tua, melihat pentingnya keberadaan buku lokal sebagai media edukasi dan konservasi budaya. Pembelajaran yang berbasis konteks lokal terbukti meningkatkan motivasi belajar siswa, memperkuat rasa memiliki terhadap daerah, dan membuka ruang dialog antargenerasi. Di era Kurikulum Merdeka, yang sedang kita ‘nikmati ini’, kebebasan memilih bahan ajar adalah peluang emas untuk menghadirkan kekayaan lokal ke ruang kelas.

Menanam Akar Identitas
Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada narasi tunggal dari pusat. Indonesia adalah negara yang dibangun dari keragaman, dan pendidikan harus merefleksikan itu. Mengalokasikan sebagian anggaran untuk membeli buku budaya dan sastra lokal bukan hanya mendukung literasi, tetapi juga menanamkan akar identitas dalam jiwa anak-anak kita. Lebih dari itu, ini adalah bentuk keberpihakan terhadap sejarah, bahasa, dan narasi-narasi yang selama ini terpinggirkan di daerah sendiri.

Disadari atau tidak, buku lokal yang ditulis dengan semangat cinta terhadap daerah bisa menjadi jembatan yang menghubungkan pelajaran dengan kehidupan nyata siswa –sebuah hal yang sedang digalakkan oleh pemerintah dengan istilah deeplearning. Bukankah tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang mengenal dirinya dan mencintai tanah kelahirannya?

Maka itu, membelikan buku budaya lokal untuk sekolah bukan hanya mencerminkan semangat meningkatkan literasi, tetapi juga menunjukkan keberpihakan nyata pemerintah terhadap narasi-narasi daerah yang selama ini terpinggirkan. Mari jadikan dana miliaran itu sebagai investasi—bukan sekadar pada pendidikan, tetapi juga pada sejarah, warisan, dan masa depan Pidie. Sebab jika kita terus menunda, generasi berikutnya akan tumbuh dengan kisah dari luar pulau, tokoh dari negeri asing, dan budaya digital dari entah berantah. Sementara tentang siapa dirinya, siapa leluhurnya, dan tanah apa yang menumbuhkannya, mereka hanya bisa diam, kehilangan arah di tanah sendiri. 

Penulis : Muhammad Syawal Djamil
Guru Sukma Bangsa Pidie 
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi Budaya di Komunitas Beulangong Tanoh

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update