Notification

×

Seruan Moral Lintas Iman Menuju COP30: Transisi Energi Harus Berkeadilan!

Jumat, 19 September 2025 | 15.27 WIB Last Updated 2025-09-19T08:27:33Z


 Menjelang COP30 di Brasil, diskusi lintas iman menegaskan krisis iklim sebagai persoalan moral sekaligus kemanusiaan yang menuntut aksi nyata.


GEMARNEWS.COM, JAKARTA - Krisis iklim bukan lagi bayangan jauh dari konferensi global. Ia sudah hadir di depan mata: udara yang kian sesak, air yang makin langka, hingga bencana yang datang tanpa jeda. Realitas ini menegaskan, tak ada lagi ruang bagi kita untuk berjalan sendiri. Saatnya semua lapisan masyarakat, termasuk para pemimpin lintas agama, bersatu menggerakkan nurani dan aksi nyata demi bumi, rumah bersama umat manusia.


Dengan semangat itu, GreenFaith Indonesia bekerjasama dengan 350 menyelenggarakan Diskusi Publik Lintas Iman melalui Instagram Live bertajuk “Reorientasi Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP 30”, Kamis, 18 September 2025. 


Tiga tokoh lintas iman hadir sebagai narasumber: Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia; Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra, Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang; serta Romo Charles Lamaberaf, SVD., M.Sc, Dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, NTT. Diskusi yang berlangsung selama 1 jam ini dipandu oleh Sukowati Utami (Editor in Chief Hukamanews.com, Media Network Partner GreenFaith Indonesia).


Krisis Iklim sebagai Persoalan Moral


Dalam pengantarnya, Hening Parlan menekankan bahwa krisis iklim bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan moral dan kemanusiaan. Ia memperkenalkan gagasan Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang baru saja diterbitkan dalam bentuk buku.


“Energi yang kita gunakan hari ini mayoritas masih bersumber dari fosil seperti batubara dan minyak bumi, yang terbatas sekaligus merusak lingkungan. Dari perspektif Islam, jika ada kerusakan, kita wajib bertobat dan memperbaikinya. Itu artinya kita harus bertransisi menuju energi yang lebih baik, yakni energi matahari, angin, dan air, yang disebut sebagai energi surga,” ujarnya.


Hening juga mengingatkan bahwa transisi energi tidak boleh berhenti di ruang-ruang rapat para elite. 


“Transisi harus berpihak pada rakyat kecil, karena merekalah yang menyuplai kebutuhan energi, tetapi justru paling banyak menanggung dampaknya,” imbuhnya.


Nada serupa disampaikan Dr. Edi Ramawijaya. Menurutnya, agama seharusnya tidak berhenti pada diskursus teologi, melainkan menyentuh kehidupan nyata.


“Agama mampu mendorong kebiasaan kecil yang konsisten—atomic habit—yang berdampak besar bagi keadilan iklim. Isu energi tidak boleh bersifat elitis. Ia adalah hak dasar semua orang, tanpa memandang strata sosial,” tegasnya.


Dr. Edi mengingatkan bahwa bila tata kelola energi hanya berorientasi pada keuntungan, maka yang akan selalu menjadi korban adalah masyarakat adat, petani, dan nelayan.


Sementara itu, Romo Charles Lamaberaf menyoroti ketidakadilan yang kerap menyertai proyek energi terbarukan berskala besar. Ia mencontohkan penolakan masyarakat adat terhadap proyek geotermal (panas bumi) di Flores.


“Energi terbarukan memang penting. Tetapi jika sejak awal prosesnya tidak adil, ia hanya melahirkan luka baru. Gereja berdiri bersama masyarakat adat, karena mereka yang paling menanggung biaya transisi energi,” tegas Romo Charles.


Ia mengingatkan ada tiga tantangan utama: kerusakan wilayah adat, proses yang tidak transparan, dan ketimpangan global di mana rakyat kecil menanggung beban, sementara negara maju menikmati manfaat.


Menuju COP30: Dari Spiritualitas ke Aksi Nyata


Diskusi ini juga menegaskan pentingnya momentum COP30 di Belem, Brasil, 10–21 November 2025 sebagai ruang bagi masyarakat sipil, termasuk pemimpin lintas agama, untuk bersuara lebih lantang.


Para narasumber merumuskan lima pesan moral utama yang perlu diusung menuju COP30:

1. Demokrasi sebagai dasar aksi iklim – keputusan iklim harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

2. Inklusivitas nyata – suara perempuan, pemuda, dan komunitas adat harus menjadi pusat kebijakan.

3. Menetapkan batas (Draw the Line) – berani menolak proyek energi yang merusak ekologi dan keadilan sosial.

4. Spiritualitas aksi – iman diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar wacana.

5. Aksi kolektif global – kerja sama lintas iman memperkuat tekanan moral agar keadilan iklim menjadi prioritas dunia.


“Kalau agama menjadi kekuatan moral, maka ia juga harus menjadi kekuatan sosial,” tegas Romo Charles. Dr. Edi menambahkan, tanpa memasukkan perspektif lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan, Indonesia hanya akan menuju “Indonesia Cemas 2045”, bukan “Indonesia Emas 2045”.


Diskusi lintas iman ini ditutup dengan pernyataan bersama: krisis iklim adalah tanggung jawab moral umat beragama. Spiritualitas harus diterjemahkan menjadi aksi nyata—menolak proyek energi yang tidak adil, memperkuat literasi ekologi, dan mendorong kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.


“Iman kita menuntun kita untuk melindungi bumi dan semua makhluk. Draw the Line adalah bentuk keberanian spiritual itu,” pungkas Hening Parlan.


Dengan suara yang melampaui sekat agama, para pemimpin lintas iman menyerukan bahwa transisi energi berkeadilan bukan sekadar agenda teknokratis, melainkan panggilan moral untuk keberlangsungan hidup umat manusia. *


Tentang GreenFaith Indonesia


GreenFaith adalah organisasi akar rumput global lintas agama yang membangun gerakan untuk keadilan iklim. Di Indonesia, GreenFaith berdiri sejak 2023 dengan fokus pada Faith for Climate Action, yaitu aksi nyata individu lintas agama dalam mengatasi dampak perubahan iklim, pelatihan lintas agama untuk climate justice, serta membangun perspektif lintas agama dalam transisi energi. Update kegiatan GreenFaith Indonesia dapat diikuti melalui Instagram @greenfaith.id.


Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update