Gemarnews.com, Opini - Pada awal tahun 2006, kira kira 19 tahun yang lalu, kami sebagai calon mahasiswa baru program studi pendidikan sejarah dipertemukan dengan beliau di fakultas FKIP di darussalam, di gedung RKU lama.
Pada saat pertemuan tersebut, abang letting kami menyebutnya dengan panggilan "Ayah atau Father", sebuah panggilan yang menegaskan hubungan antara anak dengan ayah yang diikat oleh hubungan tali kasih sayang.
Ayah Hamid yang pada waktu itu sebagai ka prodi sejarah betul betul menjelma sebagai seorang Ayah bagi semua mahasiswa di semua angkatan, baginya mahasiswa adalah seperti anak kandungnya sendiri, sehingga tidak ada sekat pembatas yang dibangun seperti tembok berlin yang memisahkan antara jerman timur dengan jerman barat, atau sungai guadiana yang memisahkan spayol dengan portugal.
Ayah Hamid adalah seorang dosen sejarah yang cukup tegar, badannya tinggi besar, suaranya keras dan jelas, sehingga kami yang ingin bertemu dengannya harus betul betul mempersiapkan mental ninja. Tapi dibalik sangkaan tersebut, Ayah adalah seorang figur yang sangat melindungi dan mengayomi anak anaknya, sehingga sosoknya di"cintai", dan "dikenang" hingga selama lamanya.
Ayah Hamid adalah mutiara yang bersinar dari Lamyong- Darussalam.
Saya masih ingat betul, bagaimana beliau ikut serta ke anow itam, naik kapal berlayar bersama sama saat ke sabang, saat kami dibawa oleh abang letting, rasa dan perasaannya baru kemaren nostagia reuni sejarah yang sudah 19 tahun silam tersebut.
Semua kengiatan sukses kalau sudah ada Ayah, mulai dari acara besar hingga ke acara remeh temeh seperti masak kuah beulangong di pantai.
Hari ini saya menjeguk beliau yang sedang berbaring dirumah sakit, usianya sudah 78 tahun, suara, penglihatan dan pendengarannya masih terang menderang, semangat Ayah masih semangat 45 .
Saat saya membuka pintu kamar rumah sakit, Ayah langsung melihat dan menoleh ke arah saya, dan saya langsung mencium tangan "dingin"nya.
Hampir tiga jam lebih saya berdiskusi dengan guru yang amat sangat saya "cintai dan kagumi" ini, sehingga waktu zuhurpun tiba.
Saya mendoakan semoga Ayah Hamid diberi kekuatan dan keteguhan dalam menjalani ujian ini.
Beliau berpesan kepada saya, saya tidak mau menyusahkan orang lain, tidak ada yang tau Ayah lagi sakit.
Dalam hati terbisik begitu kuatnya prinsip Ayah yang tidak mau merepotkan orang lain
Sekali lagi, saya mendoakan Ayah kembali tegar, diberi kesembuhan dan diangkatkan segala penyakitnya, Ayah adalah sosok yang baik, dan penuh kemuliaan.. Ayah Hamid adalah guru yang dicintai oleh anak anaknya... Ayah adalah guru yang maha baik.
Semoga Guru Kami Lekas Sembuh dan Bisa Beraktivitas Kembali Bersama Keluarga.
Penulis : Muhammad Nur, M.Pd
Pemerhati Sejarah Aceh