GEMARNEWS.COM, PONTIANAK - Krisis iklim bukan hanya urusan lingkungan, melainkan cermin dari cara manusia memaknai iman. Dari Pontianak, para pemuda lintas iman menunjukkan bahwa menjaga bumi adalah bentuk ibadah yang paling tulus.
Sejumlah pemuda dari berbagai agama sepakat bahwa keimanan tak berhenti pada doa. Mereka menjawab krisis iklim dengan tindakan nyata: menanam pohon, mengurangi sampah plastik, dan menjadikan rumah ibadah lebih ramah lingkungan. (10/101/2025)
Kesadaran itu tumbuh dalam kegiatan Pelatihan Keadilan Iklim untuk Pemuda Lintas Iman yang digelar GreenFaith Indonesia bersama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Kalimantan Barat, Jumat (10/10). Pelatihan ini menjadi yang pertama di Kalimantan Barat sekaligus yang ke-12 secara nasional sejak gerakan lintas iman ini hadir di Indonesia.
“GreenFaith hadir untuk mempertemukan nilai-nilai iman dan kepedulian ekologis. Semua agama mengajarkan untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama,” ujar Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia.
Pelatihan ini diikuti 28 pemuda lintas iman dari tujuh komunitas agama besar di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Mereka datang dengan latar berbeda, namun membawa semangat yang sama — bumi tidak boleh terus dibiarkan sakit.
Krisis Iklim: Ketika Iman Diuji Alam
Dalam sesi bertema Agama, Kerusakan Alam, dan Keadilan Iklim, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye GreenFaith Indonesia, memaparkan wajah buram Kalimantan Barat yang kian rentan terhadap bencana. Deforestasi, tambang batu bara, dan suhu ekstrem membuat masyarakat sulit memprediksi musim dan cuaca.
“Hubungan antara banjir, deforestasi, dan krisis iklim di Kalbar itu nyata. Akar krisis ekologis sesungguhnya ada pada krisis spiritual,” ujarnya.
Parid mengutip pemikir Islam Seyyed Hossein Nasr dalam Religion and the Order of Nature, yang menyebut bahwa kemanusiaan modern telah meninggalkan langit, dan karena itu kehilangan keseimbangan dengan bumi.
Ia juga menyinggung Dokumen Al-Mizan, panduan etika lingkungan global dari dunia Islam, yang menolak pandangan antroposentris—bahwa manusia adalah pusat dari segalanya. “Keadilan iklim berarti memulihkan kembali hubungan suci antara manusia dan alam,” tegasnya.
Ekoteologi: Iman yang Berbuah Aksi
Sesi Diskusi dan Sharing Ekoteologi menghadirkan momen reflektif. Para peserta menggali ajaran dan praktik spiritual dari berbagai agama yang berpihak pada kelestarian bumi.
Peserta perwakilan dari Hindu menjelaskan konsep Tri Hita Karana yang menekankan keselarasan antara Tuhan, manusia, dan alam. Komunitas Hindu berkomitmen mengurangi pembakaran dan memperluas penggunaan pupuk organik.
Dari Islam, khususnya pemuda Nahdlatul Ulama, muncul gerakan menanam seribu pohon dan pengolahan sampah terpadu.
Peserta dari Katolik menegaskan tanggung jawab manusia sebagai penjaga ciptaan Tuhan dengan penerapan energi terbarukan di gereja dan biara.
Adapun peserta perwakilan Muhammadiyah mengutip Al-A’raf ayat 56, menyerukan gerakan Green Al-Ma’un, anti-plastik, dan Eco Bhinneka.
Sementara komunitas Khonghucu mengangkat filosofi Tian-Di-Ren—hubungan harmonis antara Tuhan, alam, dan manusia—yang diwujudkan melalui aksi menanam pohon dan menjaga kebersihan lingkungan sebagai bagian dari ajaran moral.
Semua ajaran itu bermuara pada pesan yang sama: bumi bukan milik manusia, melainkan titipan suci yang wajib dijaga.
Lahirkan Aksi Nyata
Bagian paling menarik datang ketika para peserta merancang Rencana Aksi Rumah Ibadah Ramah Lingkungan (Eco-House of Worship). Dari ruang pelatihan itu, lahirlah gagasan-gagasan konkret yang siap diwujudkan dalam enam bulan ke depan.
Dari Klenteng Budi Bakti, umat Khonghucu berencana menanam pohon di sekitar parit klenteng agar warga berhenti membuang sampah sembarangan.
Perwakilan Hindu akan menanam tumbuhan di sekitar Pura Gin Pati untuk menekan timbulan sampah dan menjaga kesucian tempat ibadah.
Pemuda Katolik mengalokasikan dana penghijauan dan pemasangan panel surya di Gereja Katedral Santo Joseph.
Sementara BEM UMP Pontianak menginisiasi edukasi pengurangan plastik di kampus dan aksi gotong royong bersih lingkungan.
IPNU berkomitmen menggelar pelatihan lingkungan di sekolah-sekolah NU, sedangkan IPM mendorong penyediaan tempat sampah di masjid dan edukasi pelestarian tumbuhan bagi siswa.
Semua rencana aksi itu akan dikoordinasikan oleh Widhi, perwakilan komunitas Hindu, yang ditunjuk sebagai Koordinator Alumni Climate Justice Training.
Pelatihan di Pontianak menandai babak baru gerakan lintas iman di Indonesia. Dari sini, suara moral baru bergema: iman sejati bukan hanya yang berdoa, tetapi yang bertindak untuk bumi.
“Keadilan iklim harus dimulai dari langkah kecil: dari rumah ibadah, dari komunitas, dari diri kita masing-masing. Itulah bentuk ibadah sejati bagi bumi,” ujar Hening Parlan menutup kegiatan. (*)