Notification

×

Pendidikan Aceh, Membaca Gagasan Hasan Tiro dan Husaini M. Hasan dalam Kerangka Keilmuan Modern

Minggu, 02 November 2025 | 01.10 WIB Last Updated 2025-11-01T18:10:10Z


 


GEMARNEWS.COM, BANDA ACEH - Diskursus pendidikan Aceh tidak dapat dilepaskan dari kontribusi pemikiran dua tokoh penting: Hasan di Tiro, pendiri Gerakan Aceh Merdeka, dan Prof. Dr. Husaini M. Hasan, M.A., akademisi, budayawan, dan tokoh publik Aceh. Keduanya hadir dalam konteks sejarah berbeda, namun memberikan fondasi yang signifikan terhadap arah pembangunan intelektual Aceh, demikian intisasri dialog pendidikan bersama Iskandar Muda Hasibuan – Ketua Majelis Dikdasmen dan PNF PWM Aceh, disela-sela kegiatan Bimtek 100 Guru Muhammadiyah di Kyriad Muraya Hotel, 28 Oktober – 2 Nopember 2025.

 

Hasan di Tiro: Pendidikan sebagai Proyek Peradaban dan Identitas

Dalam karya intelektualnya, terutama dalam The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Muhammad di Tiro (1984) serta dokumen politiknya, Hasan di Tiro memandang pendidikan sebagai pilar fundamental dalam kebangkitan intelektual dan kedaulatan martabat Aceh. Narasi historis yang ia bangun berlandaskan fakta bahwa Aceh memiliki tradisi kecendekiaan sejak era kesultanan—dengan institusi dayah, jaringan ulama internasional, serta hubungan keilmuan dengan Timur Tengah.

 

Bagi Hasan di Tiro, pendidikan bukan semata transfer ilmu, melainkan proses pembentukan kesadaran historis, kemandirian intelektual, dan kapasitas pengelolaan sumber daya kolektif. Pendidikan harus melahirkan manusia Aceh yang memahami sejarahnya, mampu bersaing dalam ruang global, serta memelihara integritas nilai Islam dan budaya. Perspektif ini menempatkan pendidikan sebagai proyek peradaban (civilizational project), bukan sekadar sektor pembangunan.

 

Husaini M. Hasan: Pendidikan Berbasis Spiritualitas, Bahasa, dan Kultur

Sebaliknya, Prof. Husaini M. Hasan—melalui karya ilmiah, pidato akademik, dan kontribusi budaya—mengembangkan gagasan pendidikan yang berakar pada spiritualitas Islam, pelestarian bahasa Aceh, serta peneguhan memori historis lokal. Dalam banyak forum akademik, termasuk saat pengukuhan guru besar serta penerimaan gelar Doctor Honoris Causa, beliau menegaskan pentingnya pendidikan sebagai instrumen pembentukan karakter religius, integritas moral, dan kecintaan terhadap identitas budaya.

 

Kontribusi beliau pada kajian bahasa Aceh, manuskrip, dan sejarah lokal menunjukkan bahwa pendidikan ideal bagi Aceh adalah pendidikan yang membumi pada tradisi, namun tetap inklusif terhadap perkembangan keilmuan modern. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menciptakan manusia cerdas, tetapi manusia berkepribadian Aceh yang bermoral, berbudaya, dan berwawasan global.

 

Konvergensi Gagasan dan Novelty Akademis

Meskipun berasal dari lintasan sejarah dan medan perjuangan yang berbeda, gagasan kedua tokoh tersebut bertemu pada satu titik fundamental: Pendidikan harus menjadi kekuatan pembentuk martabat manusia Aceh melalui integrasi nilai Islam, identitas budaya, dan kecakapan intelektual modern.

 

Pendekatan Hasan di Tiro menekankan kemandirian dan kesadaran peradaban, sementara Husaini M. Hasan menguatkan ketahanan nilai dan kontinuitas kebudayaan. Sinergi keduanya menghasilkan kerangka konseptual pendidikan Aceh yang relevan bagi era kontemporer, terutama dalam konteks otonomi khusus dan pembangunan pascakonflik-tsunami.

 

Novelty atau kebaruan analitis muncul ketika kedua pemikiran ini dibaca bukan sebagai wacana politik semata, melainkan sebagai fondasi paradigma pendidikan berbasis identitas historis-keagamaan dan daya saing global — sesuai arah kebijakan pendidikan lokal yang menekankan integrasi nilai Islam, budaya Aceh, dan ilmu modern, ujar Iskandar Hasibuan.

 

Dalam akhir sesi dialog Hasibuan menekankan, pada saat Aceh memasuki babak baru pembangunan, gagasan Hasan di Tiro dan Husaini M. Hasan menawarkan refleksi mendalam: bahwa kejayaan Aceh bukan hanya soal ekonomi atau infrastruktur, melainkan kualitas manusia dan peradabannya. Melalui pendidikan yang menghargai sejarah, meneguhkan identitas, menguatkan nilai agama, dan menyesuaikan diri dengan tuntutan global, Aceh dapat membangun masa depan yang bermartabat, berkarakter, dan berdaya saing—sebuah kontribusi penting bagi perjalanan bangsa Indonesia khususnya Aceh.(*)

 

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update