GEMARNEWS.COM, BANDA ACEH - Diskursus pendidikan Aceh tidak dapat
dilepaskan dari kontribusi pemikiran dua tokoh penting: Hasan di Tiro, pendiri
Gerakan Aceh Merdeka, dan Prof. Dr. Husaini M. Hasan, M.A., akademisi,
budayawan, dan tokoh publik Aceh. Keduanya hadir dalam konteks sejarah berbeda,
namun memberikan fondasi yang signifikan terhadap arah pembangunan intelektual
Aceh, demikian intisasri dialog pendidikan bersama Iskandar Muda Hasibuan –
Ketua Majelis Dikdasmen dan PNF PWM Aceh, disela-sela kegiatan Bimtek 100 Guru
Muhammadiyah di Kyriad Muraya Hotel, 28 Oktober – 2 Nopember 2025.
Hasan di Tiro: Pendidikan sebagai
Proyek Peradaban dan Identitas
Dalam
karya intelektualnya, terutama dalam The Price of Freedom: The Unfinished
Diary of Tengku Hasan Muhammad di Tiro (1984) serta dokumen politiknya,
Hasan di Tiro memandang pendidikan sebagai pilar fundamental dalam kebangkitan
intelektual dan kedaulatan martabat Aceh. Narasi historis yang ia bangun
berlandaskan fakta bahwa Aceh memiliki tradisi kecendekiaan sejak era
kesultanan—dengan institusi dayah, jaringan ulama internasional, serta hubungan
keilmuan dengan Timur Tengah.
Bagi
Hasan di Tiro, pendidikan bukan semata transfer ilmu, melainkan proses
pembentukan kesadaran historis, kemandirian intelektual, dan kapasitas
pengelolaan sumber daya kolektif. Pendidikan harus melahirkan manusia Aceh yang
memahami sejarahnya, mampu bersaing dalam ruang global, serta memelihara
integritas nilai Islam dan budaya. Perspektif ini menempatkan pendidikan
sebagai proyek peradaban (civilizational project), bukan sekadar sektor
pembangunan.
Husaini M. Hasan: Pendidikan Berbasis
Spiritualitas, Bahasa, dan Kultur
Sebaliknya,
Prof. Husaini M. Hasan—melalui karya ilmiah, pidato akademik, dan kontribusi
budaya—mengembangkan gagasan pendidikan yang berakar pada spiritualitas Islam,
pelestarian bahasa Aceh, serta peneguhan memori historis lokal. Dalam banyak
forum akademik, termasuk saat pengukuhan guru besar serta penerimaan gelar Doctor
Honoris Causa, beliau menegaskan pentingnya pendidikan sebagai instrumen
pembentukan karakter religius, integritas moral, dan kecintaan terhadap
identitas budaya.
Kontribusi
beliau pada kajian bahasa Aceh, manuskrip, dan sejarah lokal menunjukkan bahwa
pendidikan ideal bagi Aceh adalah pendidikan yang membumi pada tradisi, namun
tetap inklusif terhadap perkembangan keilmuan modern. Dengan demikian,
pendidikan tidak hanya menciptakan manusia cerdas, tetapi manusia
berkepribadian Aceh yang bermoral, berbudaya, dan berwawasan global.
Konvergensi Gagasan dan Novelty
Akademis
Meskipun
berasal dari lintasan sejarah dan medan perjuangan yang berbeda, gagasan kedua
tokoh tersebut bertemu pada satu titik fundamental: Pendidikan harus menjadi
kekuatan pembentuk martabat manusia Aceh melalui integrasi nilai Islam,
identitas budaya, dan kecakapan intelektual modern.
Pendekatan
Hasan di Tiro menekankan kemandirian dan kesadaran peradaban, sementara Husaini
M. Hasan menguatkan ketahanan nilai dan kontinuitas kebudayaan. Sinergi
keduanya menghasilkan kerangka konseptual pendidikan Aceh yang relevan bagi era
kontemporer, terutama dalam konteks otonomi khusus dan pembangunan
pascakonflik-tsunami.
Novelty
atau kebaruan analitis muncul ketika kedua pemikiran ini dibaca bukan sebagai
wacana politik semata, melainkan sebagai fondasi paradigma pendidikan berbasis
identitas historis-keagamaan dan daya saing global — sesuai arah kebijakan
pendidikan lokal yang menekankan integrasi nilai Islam, budaya Aceh, dan ilmu
modern, ujar Iskandar Hasibuan.
Dalam
akhir sesi dialog Hasibuan menekankan, pada saat Aceh memasuki babak baru
pembangunan, gagasan Hasan di Tiro dan Husaini M. Hasan menawarkan refleksi
mendalam: bahwa kejayaan Aceh bukan hanya soal ekonomi atau infrastruktur,
melainkan kualitas manusia dan peradabannya. Melalui pendidikan yang menghargai
sejarah, meneguhkan identitas, menguatkan nilai agama, dan menyesuaikan diri
dengan tuntutan global, Aceh dapat membangun masa depan yang bermartabat,
berkarakter, dan berdaya saing—sebuah kontribusi penting bagi perjalanan bangsa
Indonesia khususnya Aceh.(*)
