Dok.foto : Maisura, M.Pd
Gemarnews.com, Opini - Musibah sering datang tanpa memberi waktu bagi manusia untuk bersiap. Dalam sekejap, rasa aman berubah menjadi kecemasan, rutinitas berganti ketidakpastian, dan banyak orang harus belajar berdamai dengan kehilangan. Di balik kerusakan yang tampak, ada luka-luka batin yang sunyi, rasa takut, lelah, sedih, dan kebingungan yang tidak selalu mudah diungkapkan, tetapi nyata dirasakan oleh mereka yang mengalaminya.
Dalam situasi seperti ini, ketahanan jiwa menjadi sesuatu yang sangat berharga. Ketahanan jiwa bukan berarti tidak menangis, tidak merasa lemah, atau selalu terlihat kuat. Sebaliknya, ketahanan jiwa adalah kemampuan manusia untuk tetap bernapas di tengah tekanan, memberi ruang bagi perasaan yang hadir, dan perlahan menemukan kembali harapan, meskipun langkahnya tertatih.
Islam memandang musibah sebagai bagian dari perjalanan hidup manusia. Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.”(QS. Al-Baqarah [2]: 155)
Ayat ini tidak datang untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menegaskan bahwa apa yang dialami manusia dalam musibah bukanlah tanda kegagalan iman. Rasa takut, sedih, dan kehilangan adalah bagian dari kemanusiaan. Islam tidak meminta manusia meniadakan perasaan itu, tetapi mengajak manusia untuk tidak tenggelam di dalamnya.
Secara psikososial, musibah mengguncang bukan hanya individu, tetapi juga relasi antar manusia. Orang-orang yang biasanya kuat bisa merasa rapuh. Mereka yang terbiasa mandiri bisa tiba-tiba membutuhkan bantuan. Dalam kondisi ini, kehadiran orang lain sekadar mendengar, menemani, atau duduk dalam diam sering kali lebih menenangkan daripada nasihat panjang tentang kesabaran.
Rasulullah SAW menunjukkan bahwa iman tidak meniadakan emosi. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya mata ini meneteskan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridai oleh Tuhan kami.”(HR. Bukhari)
Hadis ini memperlihatkan wajah Islam yang sangat manusiawi. Menangis bukan tanda lemahnya iman, melainkan bentuk kejujuran hati. Dari sini, ketahanan jiwa dipahami sebagai kemampuan untuk jujur pada perasaan, sekaligus menjaga arah hidup agar tetap berada dalam nilai-nilai kebaikan.
Ketahanan jiwa juga tumbuh dalam relasi sosial yang hangat. Islam mengajarkan pentingnya saling menguatkan, sebagaimana firman Allah:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.”(QS. Al-Ma’idah [5]: 2)
Di tengah musibah, tolong-menolong tidak selalu berbentuk bantuan besar. Ia bisa hadir dalam kalimat sederhana, pelukan yang tulus, atau kesediaan untuk tidak menghakimi mereka yang belum mampu bangkit. Hal-hal kecil semacam inilah yang sering menjadi penopang jiwa ketika keadaan terasa terlalu berat.
Sering kali, masyarakat tanpa sadar menuntut korban musibah untuk segera pulih dan kembali normal. Padahal, setiap jiwa memiliki waktunya sendiri untuk sembuh. Islam mengajarkan kebijaksanaan dalam memahami proses manusia. Kesabaran bukan perlombaan, dan ketahanan jiwa bukan pencapaian instan.
Sejatinya, musibah mengingatkan kita bahwa menjadi manusia berarti berani merasakan, saling menguatkan, dan tetap berharap. Dalam pandangan Islam, ketahanan jiwa adalah perjalanan batin yang dijalani bersama dengan iman sebagai penopang, dan kemanusiaan sebagai Jembatannya.
Penulis : Maisura, M.Pd
Dosen Universitas Muhammadiyah Mahakarya Aceh , Mahasiswa Doktoral Studi Islam UIN SUNA Lhokseumawe.