Notification

×

Iklan ok

Haruskah Melalui Pengadilan Rakyat?

Kamis, 28 Maret 2024 | 23.07 WIB Last Updated 2024-03-28T16:07:15Z
Dok. foto penulis : Tgk Mukhtar Syafari, MA


GEMARNEWS.COM , OPINI - Delapan dari 9 hakim konstitusi akan terlibat langsung menentukan hasil Pilpres 2024. Tidak hanya itu, keputusan MK akan menentukan nasib negara ini akan baik baik saja ke depan atau justru akan berpotensi terciptanya perpecahan bangsa karena dugaan kejahatan demokrasi dan pelanggaran undang undang oleh pelaksana pemilu, aparatur negara, termasuk penyalahgunakan kekuasaan oleh Presiden Jokowi. 

Tim 01 dan 03 sudah melakukan gugatan ke MK atas putusan KPU RI yang menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenangnya. Gugatan ini dilakukan karena pasangan 02 telah melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif. Mulai pra Pilpres, saat Pilpres dan pasca Pilpres. Pasangan 01 dan 03 kompak meminta MK melakukan diskualifikasi pasangan 02 dari pencalonan dan meminta digelar Pilpres ulang. 

Sebagaimana kita tau. Satu dari 9 hakim konstitusi, yaitu pamannya Cawapres Gibran, Anwar Usman sudah diberhentikan dari ketua MK dan tidak dibenarkan menyidangkan hasil Pilpres berdasarkan keputusan Majelis Kehormatan MK yang diketuai Prof Dr Jimly Asshiddiqie 

Pilpres Curang

Tidak butuh analisa yang mendalam untuk bisa membuktikan adanya kecurangan yang sangat brutal dan sadis pada Pilpres 2024.

Justru kecurangan itu seperti dipertontonkan oleh penguasa dan penyelenggara Pemilu. Hal ini seperti memberi kesan bahwa mereka sebagai penguasa bisa mengendalikan keinginanan meskipun mengangkangi perundang undangan yang berlaku. 

Dugaan adanya pelanggaran konstitusi dan undang undang juga dialamatkan kepada Presiden Jokowi. Bahkan Presiden Jokowi diduga telah melakukan intervensi dalam pelaksanaan Pilpres 2024.

Sejak awal masyarakat sudah menduga ketika Jokowi menikahkan Anwar Usman (Ketua MK RI) dengan adik kandungnya Idayati. Berbagai elemen rakyat mengkritisi hal ini dan Anwar diminta mundur dari keanggotaan MK karena dinilai akan ada putusan konflik kepentingan dengan Presiden Jokowi sebagai iparannya di kemudian hari. 

Anwar menepis anggapan tersebut dan dia menyakinkan publik akan bersikap netral dan profesional sebagai ketua MK. 

Prahara pun terjadi saat jelang pembukaan penerimaan pendaftaran pasangan Capres dan Cawapres oleh KPU. MK memutuskan Capres atau Cawapres di bawah 40 tahun bisa mendaftarkan jika pernah menjadi kepala daerah. 

Padahal sebelumnya UU No 7 tahun 2017 dan Peraturan KPU membatasi usia minimal 40 tahun.

Keputusan MK yang sangat mendadak dan berlaku sejak ditetapkan bagaikan petir yang menyambar di saat terik matahari. 

Sehari setelahnya, pakar hukum tata negara, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) yang merupakan salah satu parpol pendukung Prabowo menyebutkan bahwa: boleh saya katakan putusan ini mengandung sebuah cacat hukum yang serius. Putusan ini bahkan mengandung sebuah penyelundupan hukum karena putusannya mengatakan mengabulkan sebagian," paparnya.

Prof Yusril mengatakan putusan tersebut bukanlah putusan bulat. Sebab, dalam putusan, ada 3 hakim menyetujui (dibawah 40 tahun), 2 hakim concurring opinion (alasan yang berbeda), dan 4 dissenting opinion (pendapat yang berbeda).

"Tapi kalau kita baca argumen yang dirumuskan dalam concurring, itu bukan concurring, itu dissenting, kenapa yang dissenting dibilang concurring? Itulah yang saya katakan penyelundupan. Sehingga putusannya jadi 5 setuju : 4 tidak setuju," jelas dia. (Detiknews.com, 17/10/24).

Seharusnya dalam putusan itu, 3 hakim MK setuju dan 6 hakim tidak setuju di bawah 40 tahun. 

Karena keputusan yang cacat hukum serius, ketua MK, Anwar Usman dihadapkan ke Majelis Kehormatan MK. Hasil pemeriksaan, Anwar Usman terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Independensi, Penerapan angka 1, 2, dan 3. (Cnn.indonesia 7/11/24). MKMK memutuskan Anwar Usmas melakukan pelanggaran etik berat. 

Tidak sulit menduga siap yang telah melakukan intervensi dalam putusan tersebut. Tentunya orang yang melakukan intervensi itu lebih tinggi dan lebih hebat dari Ketua MK. 

Majalis Kehormatan MK memutuskan Anwar Usman diberhentikan sebagai ketua MK dan tidak boleh terlibat dalam persidangan Pilpres, di mana Gibran sebagai keponakannya maju sebagai Cawapres hasil putusan MK yang dinilai cacat hukum serius itu.

Penerimaan pendaftaran Cawapres Gibran oleh KPU juga dinilai cacat hukum formil karena tidak sesuai dengan Peraturan KPU no 19 tahun 2023, dimana pada pasal 13q disebutkan syarat Capres dan Cawapres berusia minimal 40 tahun. 

Pendaftaran Gibran diterima tgl 25 Oktober, sementara amanat undang undang, masa verifikasi berkas persyaratan selama 4 hari. Namun terungkap dalam sidang DKPP, Bawaslu RI tidak pernah menerima salinan berita acara hasil verifikasi persyaratan Capres-Cawapres dari KPU. Sementara PKPU terbaru disahkan pada 3 November 2024. Padahal berita acara hasil verifikasi keabsahan pendaftaran ini sangat penting bagi para pihak untuk menggugat ke Bawaslu RI dan PTUN. 

Atas keputusannya menerima Gibran, Ketua KPU RI dan seluruh anggotanya juga diputuskan melanggar kode etik berat terakhir oleh DKPP RI. 

Dugaan adanya pelanggaran perundang undang oleh penyelenggara pemilu seharusnya diadili dan diberikan hukuman yang setimpal oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 

Bagaimana bisa, Ketua KPU Hasyim Asy'ary yang berulang kali diputuskan melakukan pelanggaran berat terakhir tapi masih tetap diberikan wewenang menjadi anggota penyelenggara pemilu dan memimpin KPU RI.

Semua elemen rakyat mendesak agar MK bisa bersikap jujur, adil dan bermartabat bagi para pihak dalam memutuskan sesuai nuraninya tampa terancam oleh intervensi pihak manapun. Jika lembaga pengadilan sudah bisa diintervensi oleh penguasa maka NKRI di ambang kehancuran. 

Hak angket
Tolak tarik wacana penggunaan hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran konstitusi dan undang undang patut diduga ada upaya politik transaksional antar elit partai yang berkepentingan. 

Ada parpol yang merasa tidak bisa hidup kalau tidak berkoalisi dengan pemerintah. Bagi bagi kekuasaan dan hak pengelolaan anggaran di Kementerian serat dengan kepentingan dan dugaan pelanggaran pidana. 

Di sisi lain, kesempatan ini juga diduga telah digunakan untuk menyendera secara hukum elit parpol koalisi agar terus tetap setia. Bisa jadi sebagian elit telah tersendera oleh kasus pidana yang bisa dibongkar kapan saja jika melawan.

Kalau politik transaksional dan saling sendera tidak mampu diantisipasi. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi kita. Rakyat cuma diberikan kesempatan memilih wakil rakyat yang terbaik menurutnya. 

Sementara langkah dan keinginan mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat terbelenggu oleh keputusan para elit parpol yang serat kepentingan pragmatis. Jika ada yang melawan maka siap siap untuk dicopot. 

Betapa rusak sistem bernegara dan hancurnya demokrasi kita jika politik transaksional dan saling sendera terus terjadi di negara ini. Dan rakyat hanya gigit jari dampak dari keputusan elit politik di negara ini ketika wakil rakyat yang langsung dipilih oleh rakyat tiba tiba berubah menjadi wakil elit parpol. 

Sangat gentelman parpol yang mengusulkan penggunaan hak angket penyelidikan kecurangan pemilu ( Pileg dan Pilpres). 

Dan tentunya mereka sudah siap dengan konsekwensi fakta kalau kader partainya juga terlibat kecurangan dalam meraih kursi di Pileg 2024.

Seharusnya semua Parpol termasuk parpol pendukung 02 harus siap untuk sama sama diperiksa melalui penggunaan hak angket DPR RI demi perbaikan demokrasi. 

Keberadaan Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra dan Capres yang katanya akan bersikap jujur dan adil dan siap penegakan hukum, seharusnya berada di garda terdepan mendesak parpol dan koalisinya untuk menggunakan hak angket dan melakukan penyelidikan bersama. 

Kalau yakin tidak bersalah kenapa harus takut? Yang kita sayangkan justru mereka menolak. Dan faktanya sangat sedikit di dunia ini ada terduga perampok yang yakin telah berbuat salah yang minta diadili di persidangan. 

Pihak yang telah berbuat salah pasti tidak mau diselidiki dan diadili karena takut terbongkar kesalahannya dan menghadapi penghukuman oleh negara. 

Pengadilan rakyat

Belakangan ini, berbagai elemen rakyat mendesak agar digelar pengadilan rakyat. Wacana ini muncul dari kampus dan civitas akademika. 

Manyaksikan animo rakyat dan desakan pengusutan kejahatan demokrasi sepertinya tidak dapat di bendung oleh siapa pun. Para guru besar pun ikut turun gunung memprotes keras pelanggaran konstitusi dan undang undang demi menyelamatkan demokrasi. 

Jika keputusan MK atau penggunaan hak angket oleh DPR RI dinilai sarat dengan intervensi kekuasaan, politik transaksional dan politik saling sendera. 

Besar kemungkinan rakyat akan kembali turun ke jalan untuk menggelar Parlemen jalanan dan pengadilan rakyat. Jika ini terjadi maka Reformasi jilid 2 adalah suatu keniscayaan karena rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara ini sesuai UUD 45.

Penulis
Tgk Mukhtar Syafari, MA
Alumnus PPs UIN Ar-raniry. Seorang aktifis dan pemerhati politik di Aceh
×
Berita Terbaru Update