Notification

×

Pesantren Sekolah Terbaik Yang Ada di Indonesia

Selasa, 16 September 2025 | 19.48 WIB Last Updated 2025-09-16T12:48:42Z

Laksamana Muflih Iskandar, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
 

Pesantren sebagai sekolah terbaik yang ada Indonesia sudah waktunya diberikan perhatian khsusus. Cikal bakal pesantren adalah inisiatif para kiyai untuk mengajarkan murid atau santri ilmu agama di rumah-rumah mereka (rumah para kiyai). Murid atau santri tidak pernah diminta untuk datang belajar, mereka datang atas kemauan sendiri. Santri akan menimba ilmu agama Islam. Mereka belajar hal-hal prinsipal seperti rukun iman, islam hingga ihsan. Kiyai dengan segala kemampuan yang dimiliki akan sekuat tenaga mengajari para santri untuk mewarisi ilmu agama ini.

 

 Seiring berjalannya waktu, santri yang ingin menimba ilmu kepada kiyai terus bertambah. Rumah para kiyai yang awalnya yang hanya mampu menampung lima hingga sepuluh santri, harus kemudian diperluas dan surau pun dibangun. Di sini, surau memiliki fungsi sentral, selain menjadi pusat belajar, ia juga menjadi tempat pembinaan akhlak dan pengikat kebersamaan. Dengan demikian, penyesuaian juga terjadi pada hal-hal yang lain seperti kurikulum maupun tujuan-tujuan yang lebih spesifik dengan tetap berdiri di atas ‘fondasi’ pesantren. Belakangan di Indonesia berkembangnya pesantren IT, pesantren yang fokus pada hafalan Al-Qur’an hingga pesantren khusus anak-anak punk.  

 

 Perkembangan ini sangat patut diapresiasi. Dalam konteks mempertajam eksistensi yang telah ada tiga hal yang menjadi perhatian saya mengenai pesantren saat ini. Yakni, tenaga pendidik, kurikulum yang relevan dan perhatian terhadap kebutuhan tumbuh santri. Perhatian terhadap tenaga pendidik merupakan hal yang paling utama dalam hal ini.

 

 Tenaga pendidik yang ada di pesantren saat ini memprihatinkan, ini juga berdasarkan pengalaman penulis yang telah lebih dari 10 tahun berada di dalam dunia pesantren. Alih-alih memperhatikan kesejahteraan mereka, tenaga pendidik pesantren masih diiming-imingi ‘keikhlasan’ berbasis pahala bahkan menjadi syarat kelulusan bagi santri sebelum akhirnya mendapatkan sertifikat kelulusan mereka. Tenaga pendidik juga memiliki kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Jangan sampai hal yang seperti ini menjadi skandal yang dibungkus dengan ‘keikhlasan’ sebagaimana telah disinggung beberapa kali oleh media cetak baik yang kertas maupun yang online.  

 

Pesantren sudah sepatutnya memperhatikan ini dengan seksama. Para tenaga pendidik terkadang mengalami hal-hal yang tidak dapat dihindari. Dalam hal kesehatan misalnya. Perhatian pesantren terhadap kesehatan tenaga pendidik sangat buruk. Padahal para tenaga kerja harus tinggal di pesantren secara penuh guna membersama para santri.  Pada saat yang sama mereka hampir tidak pernah bahkan tidak diperkenankan untuk mencari tambahan penghasilan di luar pesantren. Kesehatan merupakan kebutuhan primer para tenaga pendidik. Banyak sekali tenaga pendidik yang akan sangat kesusahan tatkala mereka mengalami masalah ini. Alih-alih menanggung pengobatan yang bersangkutan, pesantren justru akan ‘memulangkan’ sang tenaga pendidik ke rumahnya dan menjadi tanggungan rumah mereka sendiri.  

 

Penulis menggarisbawahi sudah saatnya pesantren menyediakan asuransi kesehatan bagi tenaga pendidik yang memadai dan akan sangat bagus jika mampu memberikan yang terbaik. Pasalnya pengurusan asuransi ini dapat dilakukan dengan mudah dan memiliki dampak positif yang tidak kecil terhadap tenaga pendidik yang ada di pesantren. Dengan demikian, para tenaga pendidik akan lebih optimal dalam melaksanakan tugas mereka yang juga bernilai ibadah ini.  

 

Selain kebutuhan dan kesehatan tenaga pendidik, kesehatan dan kebutuhan pertumbuhan santri juga harus diberikan perhatian yang lebih daripada tenaga pendidik, melihat mereka masih dalam masa pertumbuhan dan belajar. Faktanya, kebanyakan santri banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak sepadan dengan kebutuhan mereka. Karena memang pesantren tempat mereka belajar tidak menyediakan makanan yang seimbang. Ini dapat terjadi karena tidak memperhatikan kebutuhan asupan makan para santri. Perlu kita garisbawahi bahwasanya mereka harus bangun pada pukul setengah lima pagi dan kembali beristirahat pada pukul sebelas malam atau bahkan terkadang lebih.

 

Dengan demikian, sangat tidak cukup jika mereka sarapan pagi hanya dengan sayur dan telur dadar yang sudah dicampur dengan tepung, misalnya. Penelitian belakangan menyimpulkan mereka membutuhkan kurang lebih 90 hingga 120 gram protein, sedang satu telur ayam murni hanya mengandung 6 gram protein. Kebutuhan asupan makanan dan minuman akan sangat membantu santri dalam beraktivitas dalam belajar mereka di pesantren. Dengan demikian, apa yang juga diarahkan dan disampaikan para tenaga pendidik mereka di sekolah setidaknya akan lebih baik daripada asupan mereka tidak seimbang.  

 

Beralih kepada pembahasan ketiga adalah kurikulum yang relevan. Relevan dalam artian tidak kaku dan tidak terlalu rapuh. Metode pembelajaran yang ada di banyak pesantren saat ini juga sangat memprihatinkan, bahkan tidak layak untuk disebut sebagai ‘kurikulum’. Memperhatikan kurikulum berarti memperhatikan kompetensi tenaga pendidik, dalam konteks ini adalah guru dan bahan ajar. Faktanya banyak pesantren menjadikan santri yang baru menyelesaikan studi Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk mengajar beberapa mata pelajaran. Lebih menyedihkan, mata pelajaran yang diajarkan justru mata pelajaran yang inti dan nyawa dari pesantren itu tersendiri. Beberapa mata pelajarannya adalah Bahasa Arab, Kaidah Bahasa Arab bahkan mengajarkan Al-Qur’an.  

Masih dalam konteks yang sama, banyak pesantren bahkan sudah ‘menugaskan’ siswa yang sudah dianggap ‘senior’ untuk menjadi ‘contoh’ bagi yang lain. Sehingga mereka yang menjadi ‘contoh’ ini akan mengatur dan menjalankan tugas-tugas yang seharusnya menjadi tugas tenaga pendidik. Mereka biasa masih kelas dua SMA, bahkan jika ada yang masih kelas satu SMA dapat diangkat jika dinilai lebih ‘prestisius’ dibandingkan dengan teman-teman seangkatan yang bersangkutan. Hal seperti ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Penulis menggarisbawahi bahwasanya sorang pendidik setidaknya dapat menjadi contoh dan memahami bahan didik yang akan ia sampaikan kepada santri.   

 

Hal seperti ini pastinya telah melalui diskusi yang panjang dan memerlukan diskusi lanjutan ke depannya. Hanya saja jika kita melihatnya dari sudut pandang yang lain, ini merupakan tantangan bagi banyak pesantren di Indonesia, khususnya pesantren Muhammadiyah. Melihat sebelah mata  ketiga hal di atas sama saja melupakan dan mengikis eksistensi pesantren secara perlahan. Terkikisnya pesantren akan diikuti oleh terkikisnya nilai-nilai pesantren.

 

Pesantren yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Islamic Boarding School atau sekolah Islam berbasis asrama diharapkan mencerminkan nilai-nilai luhur keislaman akan sangat janggal jika justru terkenal dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Kita harus lapang dada untuk mengakui bahwasanya isu-isu seperti kekerasan, intoleransi, bullying hingga pencabulan merupakan tugas bersama yang sedang dihadapi ‘pesantren’ saat ini. Baik secara langsung atau tidak ini akan mendapat ‘pandangan’ dari luar pesantren. Kontroversi UndangUndang Sisdiknas dan pernyataan menteri agama Indonesia sekarang, Bapak Prof Nasaruddin Umar yang menuai kontroversi mengenai pesantren adalah contohnya.

 

Dengan demikian, ketiga hal di atas tidak dapat dipandang sebelah mata untuk saat ini. Segala catatan yang berkaitan dengan pesantren saat ini, baik yang positif maupun negatif saat ini adalah tugas kita bersama.


Penulis: Laksamana Muflih Iskandar, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gemar Sport

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update