Pesantren sebagai sekolah terbaik
yang ada Indonesia sudah waktunya diberikan perhatian khsusus. Cikal bakal
pesantren adalah inisiatif para kiyai untuk mengajarkan murid atau santri ilmu
agama di rumah-rumah mereka (rumah para kiyai). Murid atau santri tidak pernah
diminta untuk datang belajar, mereka datang atas kemauan sendiri. Santri akan
menimba ilmu agama Islam. Mereka belajar hal-hal prinsipal seperti rukun iman,
islam hingga ihsan. Kiyai dengan segala kemampuan yang dimiliki akan sekuat
tenaga mengajari para santri untuk mewarisi ilmu agama ini.
Seiring berjalannya waktu, santri yang ingin
menimba ilmu kepada kiyai terus bertambah. Rumah para kiyai yang awalnya yang
hanya mampu menampung lima hingga sepuluh santri, harus kemudian diperluas dan
surau pun dibangun. Di sini, surau memiliki fungsi sentral, selain menjadi
pusat belajar, ia juga menjadi tempat pembinaan akhlak dan pengikat
kebersamaan. Dengan demikian, penyesuaian juga terjadi pada hal-hal yang lain
seperti kurikulum maupun tujuan-tujuan yang lebih spesifik dengan tetap berdiri
di atas ‘fondasi’ pesantren. Belakangan di Indonesia berkembangnya pesantren
IT, pesantren yang fokus pada hafalan Al-Qur’an hingga pesantren khusus
anak-anak punk.
Perkembangan ini sangat patut diapresiasi.
Dalam konteks mempertajam eksistensi yang telah ada tiga hal yang menjadi
perhatian saya mengenai pesantren saat ini. Yakni, tenaga pendidik, kurikulum
yang relevan dan perhatian terhadap kebutuhan tumbuh santri. Perhatian terhadap
tenaga pendidik merupakan hal yang paling utama dalam hal ini.
Tenaga pendidik yang ada di pesantren saat ini
memprihatinkan, ini juga berdasarkan pengalaman penulis yang telah lebih dari
10 tahun berada di dalam dunia pesantren. Alih-alih memperhatikan kesejahteraan
mereka, tenaga pendidik pesantren masih diiming-imingi ‘keikhlasan’ berbasis
pahala bahkan menjadi syarat kelulusan bagi santri sebelum akhirnya mendapatkan
sertifikat kelulusan mereka. Tenaga pendidik juga memiliki kebutuhan primer,
sekunder dan tersier. Jangan sampai hal yang seperti ini menjadi skandal yang
dibungkus dengan ‘keikhlasan’ sebagaimana telah disinggung beberapa kali oleh
media cetak baik yang kertas maupun yang online.
Pesantren sudah sepatutnya memperhatikan ini dengan seksama.
Para tenaga pendidik terkadang mengalami hal-hal yang tidak dapat dihindari.
Dalam hal kesehatan misalnya. Perhatian pesantren terhadap kesehatan tenaga
pendidik sangat buruk. Padahal para tenaga kerja harus tinggal di pesantren
secara penuh guna membersama para santri.
Pada saat yang sama mereka hampir tidak pernah bahkan tidak
diperkenankan untuk mencari tambahan penghasilan di luar pesantren. Kesehatan
merupakan kebutuhan primer para tenaga pendidik. Banyak sekali tenaga pendidik
yang akan sangat kesusahan tatkala mereka mengalami masalah ini. Alih-alih
menanggung pengobatan yang bersangkutan, pesantren justru akan ‘memulangkan’
sang tenaga pendidik ke rumahnya dan menjadi tanggungan rumah mereka sendiri.
Penulis menggarisbawahi sudah saatnya pesantren menyediakan
asuransi kesehatan bagi tenaga pendidik yang memadai dan akan sangat bagus jika
mampu memberikan yang terbaik. Pasalnya pengurusan asuransi ini dapat dilakukan
dengan mudah dan memiliki dampak positif yang tidak kecil terhadap tenaga
pendidik yang ada di pesantren. Dengan demikian, para tenaga pendidik akan
lebih optimal dalam melaksanakan tugas mereka yang juga bernilai ibadah ini.
Selain kebutuhan dan kesehatan tenaga pendidik, kesehatan
dan kebutuhan pertumbuhan santri juga harus diberikan perhatian yang lebih
daripada tenaga pendidik, melihat mereka masih dalam masa pertumbuhan dan
belajar. Faktanya, kebanyakan santri banyak mengonsumsi makanan dan minuman
yang tidak sepadan dengan kebutuhan mereka. Karena memang pesantren tempat
mereka belajar tidak menyediakan makanan yang seimbang. Ini dapat terjadi
karena tidak memperhatikan kebutuhan asupan makan para santri. Perlu kita
garisbawahi bahwasanya mereka harus bangun pada pukul setengah lima pagi dan
kembali beristirahat pada pukul sebelas malam atau bahkan terkadang lebih.
Dengan demikian, sangat tidak cukup jika mereka sarapan pagi
hanya dengan sayur dan telur dadar yang sudah dicampur dengan tepung, misalnya.
Penelitian belakangan menyimpulkan mereka membutuhkan kurang lebih 90 hingga
120 gram protein, sedang satu telur ayam murni hanya mengandung 6 gram protein.
Kebutuhan asupan makanan dan minuman akan sangat membantu santri dalam
beraktivitas dalam belajar mereka di pesantren. Dengan demikian, apa yang juga
diarahkan dan disampaikan para tenaga pendidik mereka di sekolah setidaknya
akan lebih baik daripada asupan mereka tidak seimbang.
Beralih kepada pembahasan ketiga adalah kurikulum yang
relevan. Relevan dalam artian tidak kaku dan tidak terlalu rapuh. Metode
pembelajaran yang ada di banyak pesantren saat ini juga sangat memprihatinkan,
bahkan tidak layak untuk disebut sebagai ‘kurikulum’. Memperhatikan kurikulum
berarti memperhatikan kompetensi tenaga pendidik, dalam konteks ini adalah guru
dan bahan ajar. Faktanya banyak pesantren menjadikan santri yang baru
menyelesaikan studi Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk mengajar beberapa mata
pelajaran. Lebih menyedihkan, mata pelajaran yang diajarkan justru mata
pelajaran yang inti dan nyawa dari pesantren itu tersendiri. Beberapa mata
pelajarannya adalah Bahasa Arab, Kaidah Bahasa Arab bahkan mengajarkan
Al-Qur’an.
Masih dalam konteks yang sama, banyak pesantren bahkan sudah
‘menugaskan’ siswa yang sudah dianggap ‘senior’ untuk menjadi ‘contoh’ bagi
yang lain. Sehingga mereka yang menjadi ‘contoh’ ini akan mengatur dan
menjalankan tugas-tugas yang seharusnya menjadi tugas tenaga pendidik. Mereka
biasa masih kelas dua SMA, bahkan jika ada yang masih kelas satu SMA dapat
diangkat jika dinilai lebih ‘prestisius’ dibandingkan dengan teman-teman
seangkatan yang bersangkutan. Hal seperti ini perlu mendapatkan perhatian
khusus. Penulis menggarisbawahi bahwasanya sorang pendidik setidaknya dapat
menjadi contoh dan memahami bahan didik yang akan ia sampaikan kepada santri.
Hal seperti ini pastinya telah melalui diskusi yang panjang
dan memerlukan diskusi lanjutan ke depannya. Hanya saja jika kita melihatnya
dari sudut pandang yang lain, ini merupakan tantangan bagi banyak pesantren di
Indonesia, khususnya pesantren Muhammadiyah. Melihat sebelah mata ketiga hal di atas sama saja melupakan dan
mengikis eksistensi pesantren secara perlahan. Terkikisnya pesantren akan
diikuti oleh terkikisnya nilai-nilai pesantren.
Pesantren yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Islamic Boarding School atau sekolah
Islam berbasis asrama diharapkan mencerminkan nilai-nilai luhur keislaman akan
sangat janggal jika justru terkenal dengan hal-hal yang bertolak belakang
dengannya. Kita harus lapang dada untuk mengakui bahwasanya isu-isu seperti
kekerasan, intoleransi, bullying
hingga pencabulan merupakan tugas bersama yang sedang dihadapi ‘pesantren’ saat
ini. Baik secara langsung atau tidak ini akan mendapat ‘pandangan’ dari luar
pesantren. Kontroversi UndangUndang Sisdiknas dan pernyataan menteri agama
Indonesia sekarang, Bapak Prof Nasaruddin Umar yang menuai kontroversi mengenai
pesantren adalah contohnya.
Dengan demikian, ketiga hal di atas tidak dapat dipandang
sebelah mata untuk saat ini. Segala catatan yang berkaitan dengan pesantren
saat ini, baik yang positif maupun negatif saat ini adalah tugas kita bersama.
Penulis: Laksamana Muflih Iskandar, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
