Peran Strategis Pemerintah Daerah Terhadap Kelangkaan BBM
Oleh Rachmat Jayadikarta, SE – Pengamat Ekonomi dan
Kebijakan Daerah
TAKENGON - Kelangkaan
Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan sejumlah
provinsi lain di Sumatera bukan sekadar persoalan distribusi di tingkat daerah,
melainkan mencerminkan persoalan struktural dalam kemampuan produksi energi
nasional.
Saat ini,
kapasitas produksi BBM Pertamina hanya mampu memenuhi sekitar 70 persen
kebutuhan nasional, sedangkan sisanya bergantung pada impor. Kondisi ini
terjadi akibat penurunan produksi minyak mentah dalam negeri, keterbatasan
kapasitas kilang, serta belum rampungnya proyek modernisasi kilang atau
Refinery Development Master Plan (RDMP) di Balikpapan, Dumai, dan Balongan.
Program RDMP
bertujuan merevitalisasi kilang minyak yang sudah ada agar lebih modern,
efisien, dan ramah lingkungan. Tujuannya meliputi:
•
Meningkatkan kapasitas pengolahan kilang eksisting.
•
Meningkatkan kualitas produk minyak agar sesuai standar Euro V.
• Mendorong
efisiensi, fleksibilitas bahan baku (feedstock), dan penggunaan teknologi
modern seperti RFCC (Residual Fluid Catalytic Cracking).
Penurunan
produksi minyak mentah nasional merupakan konsekuensi alamiah dari lapangan tua
seperti Rokan, Duri, dan Minas yang telah berproduksi selama puluhan tahun.
Sebagian besar kilang Pertamina pun masih menggunakan teknologi lama, belum
mampu mengolah berbagai jenis minyak mentah, serta sering menjalani perawatan
berkala yang mengurangi kapasitas.
Akibatnya,
wilayah ujung distribusi seperti Aceh dan Sumatera bagian utara sangat rentan
terganggu pasokannya. Gangguan kecil di kilang Dumai atau Balongan saja dapat
menyebabkan kelangkaan stok BBM di Aceh.
Ke depan,
penyelesaian masalah ini bergantung pada percepatan proyek RDMP, peningkatan
produksi minyak domestik, serta efisiensi jalur distribusi wilayah barat
Indonesia. Jika proyek RDMP Balikpapan dan Balongan rampung pada 2026–2027,
kapasitas produksi nasional bisa meningkat menjadi 85–90 persen kebutuhan
domestik, sehingga ketergantungan impor berkurang signifikan.
Namun,
selama masa transisi ini, dibutuhkan manajemen pasokan yang adaptif dan
transparan agar daerah-daerah di Sumatera tidak terus menjadi korban
ketidakseimbangan antara produksi, distribusi, dan konsumsi energi nasional.
Dampak
Spesifik terhadap Wilayah Aceh dan Sumatera
1.
Ketergantungan Distribusi. Aceh dan Sumut bergantung pada kilang Dumai dan
Balongan. Gangguan di salah satunya langsung berdampak pada stok di Aceh.
2.
Distribusi Panjang dan Biaya Logistik Tinggi. Jalur laut–darat
(Belawan–Lhokseumawe–Takengon) memerlukan waktu 3–5 hari. Daerah pedalaman
seperti Aceh Tengah rentan kekurangan stok.
3. BBM Satu
Harga, Ongkos Logistik Tak Sama. Kebijakan BBM satu harga membatasi margin
distribusi. Pertamina menanggung ongkos tinggi di wilayah pedalaman dan kerap
membatasi pasokan agar tidak merugi.
4. Produksi
Lokal Menurun. Blok Arun dan sekitarnya sudah tidak produktif, sehingga Aceh
kini sepenuhnya bergantung pada pasokan luar daerah.
Dampak
Ekonomi di Aceh Tengah dan Bener Meriah
1.
Keterlambatan Distribusi dan Kenaikan Biaya Transportasi. Biaya logistik
meningkat karena stok solar dan pertalite terbatas. Dampaknya: ongkos kirim
naik, harga produk lokal tidak kompetitif, dan margin keuntungan petani serta
UMKM menurun.
2.
Menurunnya Produktivitas Pertanian dan Perkebunan. Sektor kopi Gayo, sayur, dan
ternak sangat tergantung pada BBM. Saat langka, kegiatan produksi, panen,
hingga pascapanen tertunda. Pendapatan petani turun dan daya beli melemah.
3. Gangguan
Pelayanan Publik. Instansi pemerintah, sekolah, dan rumah sakit juga terdampak.
Kegiatan operasional terhambat, sementara anggaran daerah membengkak akibat
naiknya biaya transportasi dan logistik.
4. Inflasi
dan Penurunan Daya Beli. BBM adalah komoditas strategis yang memicu inflasi. Di
wilayah berbiaya logistik tinggi seperti Aceh Tengah, efeknya berlipat dan
berdampak langsung ke harga pangan serta transportasi.
5. Sektor
Jasa dan Pariwisata Tertekan. Pengembangan wisata Danau Lut Tawar dan ekowisata
Gayo terhambat karena biaya transportasi wisata meningkat dan wisatawan
berkurang.
6.
Meningkatnya Ketergantungan dan Pasar Gelap. Ketidakpastian pasokan menciptakan
kecenderungan menimbun BBM, munculnya pasar gelap, dan ketidakstabilan harga
yang merugikan masyarakat kecil.
Kebijakan
Strategis Pemerintah Daerah
1. Kebijakan
Koordinatif – Penguatan Jalur Distribusi.
- Membentuk Tim Koordinasi Daerah BBM
(Dinas Perdagangan, Dishub, Satpol PP, Polres, Pertamina).
- Memastikan jadwal suplai sesuai
kebutuhan harian dan musim tanam.
- Memperbaiki jalur logistik seperti
Lhokseumawe–Takengon dan Bireuen–Bener Meriah.
2. Kebijakan
Infrastruktur dan Cadangan Energi.
- Membangun Mini Depot BBM di wilayah
tengah Aceh (misal Bener Meriah) untuk stok cadangan 3–5 hari.
- Rehabilitasi jalan Gunung Salak
untuk efisiensi suplai BBM.
- Mendorong energi alternatif seperti
solar cell untuk kantor publik dan BBG untuk kendaraan dinas.
3. Kebijakan
Pengawasan dan Rasionalisasi Konsumsi.
- Digitalisasi SPBU dan pengawasan
bersama untuk mencegah penimbunan.
- Penataan kuota BBM subsidi berbasis
data pengguna riil sektor pertanian dan UMKM.
- Penegakan hukum bagi pelaku
penimbunan atau distribusi ilegal.
4. Kebijakan
Advokasi ke Pemerintah Pusat.
- Menyusun laporan dampak ekonomi
untuk meminta tambahan kuota dan kompensasi logistik.
- Mengusulkan revisi formula subsidi
BBM satu harga agar memperhitungkan biaya logistik daerah bergunung.
- Mendorong proyek perbaikan jalan
eks-KKA masuk prioritas RKPA dan usulan DAK Infrastruktur.
- Melibatkan anggota DPRA dan DPR-RI
dari dapil tengah untuk advokasi anggaran infrastruktur energi.
Pemerintah
daerah perlu bersikap proaktif, bukan hanya menunggu pasokan dari Pertamina.
Fokus kebijakan daerah harus pada:
• Koordinasi lintas instansi,
• Perbaikan infrastruktur distribusi,
• Pengawasan subsidi agar tepat sasaran, dan
• Advokasi tambahan kuota serta kompensasi logistik.
Dengan peran strategis yang tepat, pemerintah daerah dapat menjaga stabilitas
pasokan energi, menekan inflasi lokal, serta melindungi daya beli dan
kesejahteraan masyarakat di wilayah tengah Aceh. (*)